Mungkinkah Mewujudkan Parlemen Bersih dan Berintegritas

Mungkinkah Mewujudkan Parlemen Bersih dan Berintegritas

*Pasca Putusan MA : Kajian atas PKPU No. 20 Tahun 2018

PEMILIHAN Umum atau pemilu merupakan mekanisme bagi rakyat untuk menyalurkan hak politiknya secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sebagaimana termaktub dalam pasal 22E ayat 1 UUD 1945.
Sebagai negara penganut demokrasi, Pemilu atau Pemilihan Umum di Indonesia sudah dilakukan sejak tahun 1955, awalnya untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Namun setelah amandemen ke 4 UUD 1945 pada tahun 2002, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) yang semula dilakukan oleh MPR disepakati untuk dimasukan ke dalam rangkaian pemilu. Tahun 2004 Pemilihan presiden dan wakil presiden adalah kali pertama diikutsertakan dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia.
Dalam sejarah dan dinamika demokrasi di Indonesia, pemilu kerap kali hanya dianggap sebagai urusan teknis pemberian suara, konversi suara menjadi kursi, atau perebutan kekuasaan partai politik belaka. Padahal, sejatinya pemilu diharapkan menjadi sarana pelaksanan kedaulatan rakyat untuk mencari pemimpin yang bisa memperjuangkan hajat hidup orang banyak.
Oleh sebab itu, Pemilu bukan sekadar formalitas prosedur demokrasi, tapi lebih dari itu, mempunyai makna untuk perubahan ke arah yang lebih baik.
Pemilu Serentak Tahun 2019 yang akan datang tentu saja menjadi momentum yang sangat penting yang diharapkan dapat menghadirkan pemimpin yang bersih dan berintegritas. Karenanya, kita berharap adanya perbaikan yang signifikan yang bisa dilakukan secara bersama-sama oleh para stakeholder pemilu untuk menyaring calon anggota legislatif yang berkualitas dan memiliki komitmen yang kuat untuk membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik.
Sebagai lembaga negara yang diamanahi oleh Undang-Undang untuk menyelenggarakan pemilu, KPU tidak hanya dituntut untuk bisa menyukseskan pemilu melalui proses pelaksanaan yang baik dan berintegritas, tetapi bagaimana menghasilkan pemimpin bangsa yang berintegritas dari pelaksanaan pemilu itu sendiri.
Berangkat dari kewenangan yang dimiliki oleh KPU sebagai penyelenggara teknis pemilu, KPU berupaya untuk merumuskan berbagai kebijakan strategis sebagai upaya menghadirkan pemimpin bangsa yang bersih dan berintegritas serta bebas dari KKN. Dengan demikian, dalam rangka mendorong terciptanya pemerintahan yang bersih, KPU melalui Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tidak membolehkan mantan narapidana korupsi maju sebagai calon anggota legislatif. Semangat KPU untuk menciptakan pemilu yang tak hanya bersih dalam penyelenggarannya namun juga menghadirkan calon-calon yang bersih dan terbaik tentu saja harus didukung.
Peraturan KPU tersebut disambut baik oleh berbagai pihak. Kebijakan KPU kemudian oleh banyak pihak dinilai sebagai langkah maju dalam sistem demokrasi Indonesia. Selain itu, sebagai wujud progresivitas dan komitmen serta keseriusan KPU sebagai penyelenggara pemilu dalam menghadirkan wakil rakyat yang bersih dan berintegritas.
Di tengah menguatnya keinginan rakyat untuk mensterilkan parlemen dari orang-orang yang tidak bersih, ditemukan adanya indikasi ketidakseriusan beberapa parpol (partai politik) peserta pemilu dalam proses seleksi bakal calon anggota legislatif. Meskipun sebelumnya para petinggi parpol telah menandatangani pakta integritas dan sepakat untuk tidak mencalonkan mantan napi korupsi pada pemilu legislatif 2019.
Berdasarkan data Badan Pengawas Pemilu ada sekitar 199 nama bakal calon legislatif yang terindikasi mantan terpidana korupsi. Jumlahnya tersebar di sembilan provinsi, 92 kabupaten, dan 11 kota. Data tersebut menunjukkan masih lemahnya dukungan parpol dalam upaya pemberantasan korupsi.
Meskipun pada akhirnya keputusan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota tersebut mendapat pertentangan dari pihak yang merasa dirugikan oleh kebijakan KPU. Lantaran Kebijakan KPU dinilai tidak sejalan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum pasal 240 ayat (1) huruf g “bakal calon DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah warga negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan : tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana;”
Karenanya, selama mantan narapidana korupsi secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan merupakan mantan terpidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, ia boleh mencalonkan diri sebagai calon legislatif. Lebih lanjut, KPU dinilai tidak punya kewenangan untuk menghilangkan hak politik seseorang selama tidak diatur dalam Undang-Undang
Persoalan ini kemudian menjadi polemik dan pada akhirnya menjadi objek sengketa yang dimohonkan oleh mantan narapidana korupsi kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Sebagai institusi negara yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang untuk menerima, mengkaji, memediasi dan memutus sengketa proses pemilu, Bawaslu akhirnya mengabulkan permohonan sengketa mantan narapidana korupsi dalam proses pencalonan Pemilu 2019. Bawaslu menilai bahwa larangan bagi mantan narapidana korupsi untuk maju sebagai calon anggota legislatif dalam kontestasi pemilu 2019 sebagaimana yang diatur dalam Peraturan KPU Nomor 20 tahun 2018 bertentangan dengan UU Pemilu. Oleh sebab itu, Bawaslu mendorong agar segera dilakukan uji materi (judicial review) terhadap Peraturan KPU tersebut oleh MA (Mahkamah Agung).
MA kemudian mengabulkan permohonan uji materi PKPU No. 20 Tahun 2018 dan menghapus pasal 4 ayat (3) “Dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi.”
Dalam perspektif MA, menyatakan bahwa ketentuan yang digugat oleh para pemohon bertentangan dengan undang-undang di atasnya yaitu Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dijelaskan, mantan terpidana kasus korupsi diperbolehkan mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota sepanjang memenuhi beberapa persyaratan tertentu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemilu.
Putusan MA tersebut juga mengacu pada putusan MK (Mahkamah Konstitusi) terkait uji Undang-Undang Pemilu yang menyebutkan bahwa mantan terpidana diperbolehkan mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota apabila yang bersangkutan mengakui kesalahannya di depan publik.
Dengan putusan MA tersebut, semangat KPU dalam upaya menghasilkan pemilu yg bersih dan berintegritas melalui Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 seakan menemui jalan buntu.
Pertanyaannya kemudian, mengkinkah mewujudkan parlemen bersih dan berintegritas pasca putusan MA tersebut???
Jawabannya tentu saja kembali kepada kehendak rakyat bangsa Indonesia. Karena pada akhirnya rakyatlah yang punya kedaulatan untuk menentukan nasib bangsanya.
Pilihan rakyat akan menentukan kepimpinan bangsa sekaligus menentukan ke mana bangsa ini akan dibawa. Untuk itu, rakyat dituntut untuk berhati-hati dalam memberikan suaranya. Jangan sampai asal pilih sehingga memberi ruang bagi orang-orang yang hanya mementingkan diri dan kelompoknya untuk menjadi wakil rakyat. Dengan demikian, masyarakat diharapkan untuk lebih cerdas dalam memilih calon legislatif berdasarkan rekam jejak (track record), integritas, moralitas dan kemampuan (gagasan) yang dimilikinya.
Tidak hanya itu, masyarakat harus lebih jeli dalam melihat partai politik yang mencalonkan mantan napi korupsi dan/atau terindikasi korupsi. Keterlibatan masyarakat secara aktif dan sadar politik menjadi keharusan agar kualitas pemilu menjadi lebih baik, yakni pemilu yang bisa menghadirkan pemimpin yang bersih dan berintegritas. Pemimpin yang dapat mewakili aspirasi rakyat dan mampu memberikan perbaikan dan kemajuan bagi Indonesia di masa yang akan datang.

Wallahu A’lam…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *