SIDRAP, Penarakyat.com — Perjalanan kasus ujaran kebencian pada Pilkada Sidrap lalu mencapai klimaks.
Setelah ditahan 4 bulan lebih, akhirnya terdakwa Hajjah Suharty alias Ajie Arty, divonis bebas, Kamis 16 Agustus 2018.
Hj Suharti ditahan di Makassar lalu dan dipindahkan ke Rutan Klas IIB Sidrap sekaligus menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Sidrap karena kasus ITE yang dibuat atas status di Facebook pada masa kampanye Pilkada.
Pendukung setia paslon terpilih Dollah Mando – Mahmud Yusuf (Doamu) itu ditahan atas laporan 9 parpol pengusung paslon rival Famawati Rusdi – Abdul Majid (Fatma).
Pada laporannya, Aji Arty diduga melakukan perbuatan melawan hukum dengan menebar kebencian dan SARA.
Terdakwa Ajie Arty pada putusan PN Sidrap tanggal 16 Agustus 2018 kemarin, divonis bersalah dengan hukuman 4 bulan 3 hari penjara.
Namun, majelis hakim memerintahkan terdakwa untuk dikeluarkan dari tahanan karena hukumannya dikurangi pada masa tahanan yang telah dijalaninya.
Terdakwa Ajie Arty Akhirnya dinyatakan bebas oleh Ketua Majelis Hakim Bintang, SH, MH yang mengadilinya.
“Alhamdulillah sudah bebas. Dia divonis 4 bulan lebih, dipotong masa tahanan,” kata Jabbar Bahring, mantan Ketua Tim Media Doamu, Kamis (16/08/2018).
Jabbar menilai kasus ini sungguh menyakitkan bagi demokrasi di Sidrap. Tak seharusnya ada korban Pilkada hingga masuk bui.
“Sangat tidak adil hanya karena komentar yang multitafsir sehingga seorang langsung dipenjara. ‘Doamu melawan kaum kafir’ sudah dijelaskan Aji Arty bahwa mereka yang akun palsu, yang menyebar hoax dan kebencian. Tapi hukum berkata lain, tapi ini tonggak perlawanan ketidakadilan di Sidrap,” tegasnya.
Kasus ITE ini juga sempat menjadi kontroversi. Kuasa Hukum Ajie Arty menilai benyak kejanggalan pada penangkapan hingga penahanan. Permohonan Pra peradilan yang ditolak dengan alasan penangkapan yang tidak ada surat penangkapan adalah tindakan diskresi kepolisian saat itu. Tim kuasa hukum H. Suharti alias Ajie Arty sempat protes karena bukti laporan model-A yang diterbitkan sebelum penangkapan tidak dipertimbangkan oleh hakim tunggal pra peradilan.
“Seharusnya sudah bebas saat pra peradilan lalu. Ada bukti kita yang tidak dipertimbangkan Hakim,” kata Ibrahim Massidenreng kala itu.
“Atas putusan ini, tentu kami menghormati putusan majelis hakim. Meski dalam pledoi kami tetap menekankan atas tidak cukupnya bukti yang dihadirkan oleh JPU serta tidak adanya ahli yang memberikan keterangan atas dokumen elektronik, konten dan konteks atas komentar terdakwa dapat dikatakan sebagai ujaran kebencian berdasarkan SARA” kata Ibrahim saat dihubungi setelah putusan PN.
Ibrahim berharap masyarakat dapat belajar dari kasus Aji Arty. “Semoga kita semua menjadi mendapatkan pembelajaran agar lebih bijak dalam bermedsos dan lebih profesional dalam menjalani proses politik. Upaya pidana adalah upaya terakhir dalam proses politik. Pasal karet tidak menjadi senjata untuk membungkam ekspresi politik,” tutupnya. (Ady)