BALIKPAPAN, Penarakyat.com — Peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia menjadi momen istimewa bagi 707 warga binaan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas IIA Balikpapan.
Mereka diusulkan menerima Remisi Umum dan Remisi Dasawarsa, bentuk pengurangan masa pidana yang menjadi cerminan keberhasilan pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan.
Khusus Remisi Dasawarsa, hanya diberikan satu kali dalam sepuluh tahun sebagai penghargaan dari negara bagi narapidana dan anak binaan yang menunjukkan perubahan perilaku signifikan serta konsistensi dalam mengikuti program pembinaan.
Pengurangannya mencapai 1/12 dari total masa hukuman yang sedang dijalani, dengan batas maksimal tiga bulan.
“Remisi bukan sekadar keringanan hukuman. Ini bukti bahwa pembinaan telah berhasil. Mereka yang diusulkan adalah mereka yang telah menunjukkan perubahan sikap nyata dan komitmen menjadi pribadi yang lebih baik,” ujar Kepala Rutan Kelas IIA Balikpapan, Agus Salim, Rabu (7/8/2025).
Menurut Agus, pengusulan remisi didasarkan pada proses evaluasi ketat. Setiap nama yang diajukan telah melewati tahap Penelitian Kemasyarakatan (Litmas) oleh Pembimbing Kemasyarakatan dan asesmen menyeluruh oleh tim internal rutan. Penilaian mencakup catatan perilaku, keterlibatan aktif dalam program pembinaan, serta bebas dari pelanggaran disiplin.
“Yang berhak diusulkan adalah mereka yang telah berkekuatan hukum tetap per 17 Agustus 2025, tidak sedang menjalani hukuman disiplin, serta menunjukkan perilaku baik dan keaktifan dalam pembinaan kepribadian maupun kemandirian,” jelasnya.
Selain Remisi Dasawarsa, ratusan warga binaan juga diusulkan menerima Remisi Umum kategori RU I dan RU II, yang rutin diberikan setiap HUT Kemerdekaan RI sebagai bagian dari sistem penghargaan dalam pemasyarakatan.

Lebih dari Sekadar Hukuman: Rutan Jadi Pusat Transformasi Sosial
Di bawah kepemimpinan Agus Salim, Rutan Balikpapan tidak sekadar menjalankan fungsi kuratif dan pengawasan, tetapi telah menjelma menjadi pusat rehabilitasi sosial.
Program unggulan seperti Rutan Mandiri, pelatihan keterampilan kerja, kewirausahaan, hingga rehabilitasi psikososial menjadi ujung tombak transformasi warga binaan.
“Kami ingin ketika mereka kembali ke masyarakat, mereka sudah memiliki bekal keterampilan, kepercayaan diri, dan identitas baru sebagai pribadi produktif. Bukan sekadar mantan napi,” tegas Agus.
Berbagai karya warga binaan, seperti kerajinan tangan, seni rupa, hingga produk kuliner telah tampil di berbagai ajang lokal dan regional.
Ini membuktikan bahwa proses pembinaan memiliki daya ungkit sosial yang nyata—bahkan menembus batas tembok rutan.
Remisi Sebagai Wujud Kehadiran Negara yang Membina
Agus menekankan bahwa Remisi Dasawarsa bukan sekadar pemangkasan masa pidana, melainkan bagian dari proses reintegrasi sosial.
“Remisi adalah bentuk pengakuan dan dorongan negara bagi mereka yang mau berubah. Ini bukan sekadar simbol pengampunan, tetapi bentuk nyata negara hadir untuk membimbing,” ujarnya.
Ia menambahkan, sistem pemasyarakatan Indonesia hari ini bukan lagi bertumpu pada pendekatan represif, tetapi rehabilitatif.
“Kita tidak hanya menghukum, tapi juga membina. Dan 707 warga binaan yang kami usulkan ini adalah bukti bahwa proses itu berjalan,” pungkas Agus. (Eful)
Tinggalkan Balasan