PINRANG, Penarakyat.com —  Peredaran rokok ilegal di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, semakin mengkhawatirkan.

Tidak hanya menggerus potensi penerimaan negara, tetapi juga memperlihatkan wajah buram dari lemahnya pengawasan dan penegakan hukum oleh aparat terkait.

Aktivis lokal, Sainal, angkat bicara dan menyuarakan keresahan masyarakat yang kian jengah terhadap pembiaran sistemik ini.

“Rokok ilegal berbagai merek beredar bebas tiap hari, tapi aparat seolah tutup mata. Ini sudah darurat,” ujar Sainal dengan nada geram, Sabtu (7/6/2025).

Menurutnya, maraknya peredaran rokok ilegal tak hanya mencerminkan kelumpuhan fungsi pengawasan, namun juga menjadi cermin kegagalan negara dalam menjaga marwah hukum dan keadilan ekonomi. Ia menegaskan bahwa kerugian akibat pembiaran ini tidak semata pada sektor fiskal, tetapi juga berimbas langsung pada kesehatan publik dan keadilan usaha.

“Produsen legal yang taat aturan jadi tertekan. Belum lagi soal kualitas rokok ilegal yang tidak jelas, ini membahayakan kesehatan masyarakat,” tegasnya.

Rokok ilegal, yang umumnya tidak dilekati pita cukai atau menggunakan pita cukai palsu, secara langsung melanggar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai. Namun, lemahnya penindakan membuat pelanggaran ini justru terkesan menjadi praktik yang “dibiasakan” di mata publik.

Negara Dirugikan, Siapa Diuntungkan?

Kerugian negara dari sektor cukai akibat rokok ilegal bukanlah angka kecil. Uang yang seharusnya masuk ke kas negara untuk pembiayaan sektor strategis seperti kesehatan dan pendidikan justru bocor ke pasar gelap.

Dalam konteks lokal seperti Pinrang, fenomena ini menyiratkan adanya ruang kompromi, atau bahkan kolusi, antara pelaku usaha ilegal dan oknum aparat yang tutup mata.

Situasi ini, menurut Sainal, harus ditanggapi sebagai bentuk pembangkangan hukum terbuka.

Ia menyebut ada ketidakadilan struktural yang sedang berlangsung—di mana pelaku usaha taat aturan justru berada dalam posisi tertekan, sementara pelaku ilegal leluasa mencari keuntungan.

Desakan Aksi Nyata: Bukan Sekadar Retorika

Dalam pernyataannya, Sainal mendesak agar Bea Cukai dan aparat penegak hukum tidak lagi berlindung di balik alasan klasik kekurangan sumber daya. Ia merinci empat langkah konkret yang harus segera dilakukan:

  1. Operasi pasar rutin, menyasar warung tradisional dan distributor yang terindikasi menjual rokok ilegal.
  2. Razia mendadak dan berkala, dalam skala besar dan melibatkan aparat lintas sektor agar menimbulkan efek jera.
  3. Penegakan hukum tegas, termasuk penyitaan barang bukti dan proses hukum sesuai UU Cukai, tanpa pandang bulu.
  4. Transparansi publik, berupa publikasi berkala data penindakan, termasuk jumlah rokok ilegal yang disita dan aktor yang ditindak.

“Jika tak ada penindakan, kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di sektor cukai akan terus menurun,” tegas Sainal.

Panggilan untuk Reformasi Pengawasan

Lebih dari sekadar desakan, suara Sainal merepresentasikan kegelisahan kolektif masyarakat yang merasa bahwa hukum tidak lagi menjadi alat keadilan, tetapi justru diam saat keadilan diperkosa oleh kepentingan sempit.

Pemerintah pusat pun didesak turun tangan, melakukan audit menyeluruh terhadap kinerja pengawasan Bea Cukai di daerah-daerah rawan.

Rokok ilegal bukan sekadar isu dagang, tapi menjadi indikator ketidakberdayaan negara dalam menegakkan aturan yang dibuatnya sendiri.

Bila aparat tak segera membuktikan keberpihakannya pada hukum dan kepentingan publik, maka ketidakpercayaan masyarakat akan terus tumbuh—dan itu jauh lebih berbahaya dari sekadar kerugian cukai. (Riss/*)