Oleh: Dr. Andi Bau Mallarangeng, SH, MH
(Ketua LeM Demokrasi)
Setiap tahun, jutaan rakyat Indonesia patuh membayar pajak. Mulai dari pegawai, pedagang kecil, hingga pengusaha besar—semuanya menyetor kewajiban kepada negara. Namun, satu hal yang terasa janggal dan mengganggu akal sehat: setelah membayar, kita masih harus repot melapor. Seolah tanggung jawab kita tidak berhenti pada kewajiban membayar, tetapi juga dibebani untuk membuktikan bahwa kita telah taat.
Padahal, siapa yang seharusnya melapor kepada siapa?
Logikanya sederhana. Dalam transaksi biasa, siapa yang menerima uang wajib memberikan laporan kepada pemberi. Kita beli makanan, kita minta struk. Kita sewa rumah, pemilik wajib transparan soal penggunaan uang, terutama jika kita ikut menanggung perbaikan. Dalam konteks negara, rakyat adalah pemberi dana—melalui pajak—dan negara adalah penerima yang seharusnya mempertanggungjawabkan.
Ironisnya, yang terjadi malah sebaliknya. Rakyat dipaksa patuh dua kali: pertama, ketika membayar; kedua, ketika melapor. Tidak melapor? Kena sanksi. Telat? Denda. Salah isi? Diperiksa. Padahal, dari sisi teknologi, semua data penghasilan dan potongan pajak sudah tercatat secara elektronik. Sistem sudah tahu kita bayar berapa, lewat siapa, dan dari penghasilan apa. Tapi tetap, kita dituntut mengisi formulir panjang lebar, mengunggah dokumen, bahkan membuat akun di sistem yang tak semua orang mengerti cara pakainya.
Sementara itu, laporan dari negara tentang ke mana uang pajak dibelanjakan masih terasa samar. APBN dan APBD memang tersedia untuk umum, tetapi hanya segelintir orang yang mampu membacanya secara utuh dan kritis. Transparansi belum menyentuh akar rumput. Laporan penggunaan pajak jarang menyentuh publik dalam bahasa yang sederhana, jujur, dan langsung.
Apa jadinya jika konsep ini dibalik? Bayangkan jika setiap tahun, negara yang wajib mengirimkan laporan personal kepada rakyat: “Terima kasih Anda telah membayar sekian rupiah tahun ini. Dana Anda kami gunakan untuk membangun jalan di daerah X, membiayai pendidikan di daerah Y, dan memperkuat layanan kesehatan di Z.” Bayangkan dampaknya bagi kepercayaan publik dan rasa keterlibatan warga negara.
Ini bukan tentang anti-pajak. Ini tentang menyeimbangkan hak dan kewajiban. Jika rakyat wajib patuh, maka negara wajib transparan. Jika rakyat wajib melapor, maka negara pun wajib menjelaskan. Hubungan negara dan rakyat bukan semata urusan administrasi, tapi soal kepercayaan dan tanggung jawab timbal balik.
Sudah saatnya arah pelaporan itu dibalik. Rakyat tidak hanya diminta menyetor dan melapor, tetapi juga berhak menerima laporan—laporan yang jelas, mudah dipahami, dan menyentuh kehidupan nyata.
Karena di dalam negara demokratis, rakyat bukan hanya objek pajak. Mereka adalah pemilik kedaulatan. Dan pemilik berhak tahu ke mana uangnya pergi.
Tinggalkan Balasan