SIDRAP, Penarakyat.com — Penindakan hukum yang seharusnya menjunjung tinggi asas profesionalisme dan perlindungan terhadap warga sipil, justru berubah menjadi tontonan menegangkan di Desa Lainungan, Kecamatan Watang Pulu, Sidrap.

Insiden penembakan terhadap mobil Mitsubishi Expander tersebut bukan hanya menimbulkan keresahan, tetapi juga menyingkap indikasi kuat bahwa prosedur standar aparat penegak hukum dilanggar secara nyata.

Fakta di lapangan memperlihatkan delapan peluru bersarang di bodi mobil dengan arah tembakan mengarah langsung ke kabin penumpang, bukan ke bagian pelumpuhan seperti ban atau mesin.

Pola tembakan seperti itu menunjukkan bahwa tindakan tersebut bukan lagi upaya penghentian kendaraan, tetapi berpotensi menghilangkan nyawa.

Beberapa proyektil bahkan nyaris menembus kepala sopir dan bagian vital penumpang.

Arah tembakan ke kaca depan dan sisi belakang sejajar kepala penumpang memperkuat kesimpulan bahwa tidak ada pengendalian situasi lapangan sebagaimana diatur dalam SOP penindakan narkotika.

Dalam konteks penegakan hukum, tembakan hanya boleh dilepaskan sebagai upaya terakhir, terukur, dan bertujuan melumpuhkan — bukan membunuh.

Namun, dalam kasus ini, yang tampak justru sebaliknya:

  • Tidak ada peringatan publik.
  • Tidak ada pengamanan lokasi usai kejadian (garis polisi line).
  • Tidak ada pelaporan ke aparat wilayah.
  • Tidak ditemukan barang bukti narkoba di dalam kendaraan.

Lebih fatal lagi, kendaraan yang ditembaki itu ditinggalkan begitu saja oleh petugas di lokasi tanpa laporan resmi kepada Polres Sidrap maupun aparat desa. Itu yang disayangkan warga tidak dilaporkan sama sekali, padahal jelas aturannya haru disampaikan minimal pada aparat setempat. Namun itu tidak ada sama sekali.

Warga yang mendengar suara tembakan berulang hanya bisa diam karena takut mendekat.

Tindakan meninggalkan lokasi kejadian tanpa laporan merupakan pelanggaran serius terhadap kode etik penegakan hukum dan bisa menimbulkan kecurigaan adanya kesalahan taktis di lapangan.

Pemilik mobil, Hasdar, menilai tindakan tersebut benar-benar barbar. “Mobil saya bukan mobil pelaku kejahatan, tapi ditembaki seperti di film perang. Ini jelas tidak manusiawi,” ujarnya dengan nada kecewa.

Dari sisi prosedur hukum, tindakan semacam ini jelas tidak memenuhi unsur proporsionalitas dan legalitas.

Aparat boleh tegas terhadap pelaku kejahatan narkoba, tetapi harus tetap tunduk pada asas kemanusiaan dan prinsip akuntabilitas publik.

Kesan “barbar” dalam peristiwa ini bukan sekadar karena jumlah peluru yang ditembakkan, melainkan karena hilangnya disiplin komando dan kendali situasi.

Jika benar operasi itu bersifat pembelian terselubung, maka kegagalan koordinasi lapangan dan eskalasi tembakan semacam ini mencerminkan kelemahan sistemik dalam SOP BNNP Sulsel.

BNNP memang telah memberikan klarifikasi bahwa tembakan dilepaskan karena kendaraan “nyaris menabrak petugas”.

Namun analisa lokasi dan pola lubang peluru justru menimbulkan tanda tanya besar: mengapa tembakan justru mengarah ke kabin, bukan ke ban atau mesin?

Pertanyaan ini layak dijawab secara transparan oleh pimpinan BNN, karena menyangkut keselamatan nyawa warga maupun posisi terduga dicurigai pelaku apa masuk kejahatan besar atau tidak dan terlebih kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum yang seharusnya menjadi garda terdepan melindungi masyarakat dari bahaya narkoba — bukan menebar teror dengan peluru. (Ady)