History I La Galigo dan Asal Muasalnya

History I La Galigo dan Asal Muasalnya

SOPPENG, Penarakyat.com — Minggu, 23 Desember 2018 lalu, tepatnya malam penutupan Festival Budaya dan Seminar Internasional 3 La Galigo dilaksanakan di Watansoppeng.

Salah satu item acara adalah pertunjukan seni selama tujuh hari sejak tanggal 17-23 Desember 2018 di Lapangan Gasis Watansoppeng.

Malam terakhir di panggung seni Festival Budaya dan Seminar International 3 La Galigo di Lapangan Gasis Watansoppeng terdengar suara dari berbagai penjuru meneriakkan kata “PEMMALI” (Pamali). Colliq Pujie Performance memulai pertunjukan dengan menggunakan seluruh area Lapangan Gasis sebagai panggung pertunjukan.

Lakon dimulai dari sumpah dan keberangkatan Sawerigading menuju Alecina untuk menemui We Cudai dengan lampu menyoroti teras gedung gadis malam itu.

Seluruh masyarakat yang berada di area Gasis tiba-tiba merapat memadati pinggiran gedung dan besi pembatas area penonton.

Sepanjang pertunjukan penonton tidak ada yang meninggalkan tempat dan sesekali tertawa melihat sisipan lelucon yang dipertontonkan lakon Alecina, juga ada yang menangis saat adegan haru dilakoni di panggung seni tersebut.

Terlihat kain putih melintas yang diusung oleh beberapa orang, kemudian diletakkan di depan Sawerigading (Tangga Gedung Pertemuan Watansoppeng ).

Sawerigading melangkah diatas kain putih tersebut bersama La Pananrang dan La Massaguni. Perjalanan Menuju panggung dari gedung Sawerigading bersama pengawalnya mengahadapi beberapa orang dengan berbagai karakter.

Mereka berhasil menaklukkan penghadang seorang laki-laki dengan pakaian suku tertentu, selanjutnya menaklukkan laki-laki yang menggunakan pedang, menaklukkan seorang kakek yang sombong, menaklukkan rombongan laki-laki yang hampir mengalahkan La Massaguni, dan terakhir menghadapi seorang yang tadinya menari bersama We Cudai pada saat Sawerigading turun dari tangga.

Laki laki tersebut ditaklukkan oleh Sawerigading sendiri karena tunangan We Cudai. Kejadian tersebut terjadi dari area teras gedung menuju bibir panggung.

Alecina digambarkan sebuah singgasana dan bilik We Cudai dengan kain putih yang mampu memperlihatkan bayangan kejadian dibaliknya. Kejadian panggung memperlihatkan kolaborasi tarian, dialog dan teaterikal para pemain. Mengisahkan lamaran Sawerigading terhadap We Cudai dan proses kelahiran I La Galigo yang sangat rumit.

Sampai pada kecemburuan We Cudai terhadap We Cimpau yang mengantikan posisinya selama penolakanya terhadap suaminya Sawerigading dan anaknya I La Galigo. I La Galigo pun tumbuh besar dan memprotes kesewenangan di Alecina. I La Galigo lahir dan mengungkapkan jati dirinya serta keturunan sebelumnya dan setelahnya. Bahwa I La Galigo sama dengan generasi sekarang.
“La Galigo adalah kisah epik yang panjang, didalamnya bukan hanya kisah Sawerigading, Tanriabeng dan We Cudai, tapi masih sangat banyak karakter tokoh yang kisahnya begitu memikat,” kata penyusun naskah lakon Alecina, Fitriansal Sinauleng di Lapangan Gasis Watansoppeng, Rabu (26/12).

Salah satunya cinta We Cimpau terhadap Suaminya dan anak tirinya. Alecina ini tidak masuk kepada pakem. Alecina merupakan gabungan dari berbagai sumber yang bukan hanya dari terjemahan La Galigo, tapi juga sumber sejarah, arkeolog dan tentunya diskusi panjang dengan riset dari Sang Dramaturg Irfan Palipui.

“Jangan heran, dalam penyajian pertunjukanya Anda tidak menemukan banyak baju bodo, passapu, bunyi-bunyian bugis.Alecina memperlihatkan perkawinan budaya, politik, perdagangan, cinta dan berbagai aspek, sama seperti realita kehidupan sekarang dan kemungkinan besar pada masa itu,” jelasnya.

Menurutnya, lakon Alecina memperlihatkan konflik sebelum dan setelah kelahiran I La Galigo hingga pada titik dimana I La Galigo melakukan protes atas kesewenangan yang menimpanya. Peristiwa tersebut dipinjam untuk sebuah pertunjukan teater yang kemudian kelahiran I La Galigo menjadi jembatan penyampaian pesan untuk menyambungkan jati diri manusia bugis dari peradaban awal sampai sekarang.
Ada yang menanyakan pertunjukan Alecina – Lahirnya I La Galigo berlandaskan dari mana ? Fitriansal Sinauleng yang akrab di panggil Ancak menjawab, “Inilah ALECINA (Lahirnya I La Galigo) versi Colliq Pujie Performance. Seluruh Tim Colliq Pujie performance secara kolektif menciptakan pertunjukan tersebut yang bahkan setelah Latihan terakhir masih mengalami banyak perubahan,” jelasnya. (Andi Udin)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *