Oleh : AHMAD
(WALI KOTA LIRA MAKKASSAR)
(penarakyat.com) — Sore ini tanggal 24 Oktober 2016 tepatnya pukul 16.30 Wita, saya bergegas menjemput istri di sekolah (SPM Unismuh). Kondisi cuaca Makassar diguyur hujan deras. Sebagian badan saya basah hingga sampai di sekolah yang memang jaraknya agak jauh karena saya start dari Kabupaten Gowa.
Dengan meminjam mantel kakak, kamipun segera bergegas untuk kembali ke rumah tapi tetap basah kena air hujan yang cukup deras, dalam perjalanan kami hampir bersenggolan dengan seorang anak laki-laki yang kira-kira umurnya 8-9 tahunan.
Anak ini mengayuh gerobak sepeda dan duduk di atas seorang anak-anak perempuan yang mungkin adiknya, dengan tubuh gemetaran kedinginan akibat guyuran hujan bersama beberapa karung sampah bekas. Itulah “Payabo” yang biasa akrab namanya di Kota Makassar.
Derasnya hujan memacu semangatnya dengan sekuat tenaga, kakinya harus tetap memutar (mengayuh) gerobak sepeda itu, agar tetap laju dan tidak ditabrak oleh kendaraan dari belakang, akibat padatnya kendaraan yang melaju ditengah guyuran hujan dan genangan air di jalan Sultan Alauddin.
Dia sempat tersenyum pada saya ketika motor dan gerobaknya hampir bersenggolan dengan motor yang saya bawa. Dan saya balas dengan senyuman, yang mungkin senyuman mencibir karena hampir saja motor saya disenggol.
Dalam hati saya merasa tergugah dan kagum dengan kejadian itu, dalam piran saya betapa kerasnya kehidupan yang mereka harus jalani, dan tetap tegar karena terlihat di raut mukanya pada saat saya tatap tanpa beban.
Walaupun mungkin mereka menangis ditengah derasnya hujan agar tidak terlihat beban yang mereka pikul selama ini. Betapa kuatnya mereka menghadapi kehidupan ini, dengan menyambung hidup dari hasil penjualan sampah-sampah bekas atas jerih payahnya sendiri.
Mereka itu disebut “PAYABO”-Payabo’. Ketika kita mendengar kata payabo’ sebagai dialek orang Ketimuran di Sulawesi Selatan, maka orang dari daerah atau suku bangsa lain tidak akan tahu bahkan mengerti apa yang dimaksud dengan Payabo’.
Payabo’ dalam kaitannya dengan Kebudayaan Bahasa Bugis Makassar berarti pemulung. Pemulung dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti orang yang “ulung”, giat dalam melakukan suatu pekerjaan.
Namun pada kenyataannya, pemulung yang dimaksud ialah orang yang sering mengais sampah, mencari benda-benda yang masih bisa digunakan lalu didaur ulang, atau di jual kembali demi menghasilkan uang untuk menafkahi keluarganya, atau memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Itulah mereka yang bisa juga kita dapat panggil “Paboya Botol” yang biasa disingkat PaYaBo istilah Bugis Makssar. Sepintas mereka mungkin ada yang menganggap rendah, tapi bagis saya mereka cukup mulia dibandingkan mereka yang merampok dan menjarah uang rakyat dengan bermodalkan dasi dan pulpen.
Mereka jauh lebih mulia, karena memungut sampah-sampah bekas, yang dibuang dari dalam mobil mewah tapi tak memperdulikan keindahan lingkungan. Mereka lebih mulia karena hidup mengais sampah tidak mengais kekayaan negara untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Mereka mengais sampah untuk bertahan hidup, karena nasib dan pemimpin tidak lagi berpihak pada mereka!! mereka…..mereka……… dan mereka…..
Mereka hanya mengais sampah untuk tetap memastikan lingkungan ini bebas dari sampah-sampah atau limbah yang setiap harinya kita buang disembarang tempat. Mereka hanya ingin hidup dari sampah yang kita buang, dan mereka hanya ingin membantu pemerintah Kota Makassar dengan Tagline “Makassar Tidak Rantasa” (MTR), dan pengadaan Tempat Sampah yang selama ini diprogramkan dengan menghabiskan anggaran ratusan milliar.
Kendaraan saya melaju dengan tetap hati-hati dan tetap mengikuti rambu-rambu lalulintas ditengah derasnya hujan. Begitu gigihnya mereka hingga harus tetap “survive” ditengah keras garangnya hidup di kota makassar. Mereka hanya ingin bertahan dan tetap dapat mamastikan dapurnya mengepul untuk hari esok.
Makassar, 24 Oktober 2016.