Kisah Tuna Netra Peternak Sapi di Bone

Kisah Tuna Netra Peternak Sapi di Bone

Oleh : Atho, Bone

Hidup jauh dari kesempurnaan bukan hambatan bagi Arif untuk menafkahi keluarga. Prisipnya mengais rejeki dari hasil keringat sendiri lebih berkah dibanding mengharapkan uluran tangan. Sepintas, Arif terlihat sama seperti manusia normal, namun siapa sangka sejak usianya lima tahun akibat penyakit cacar yang dideritanya akal itu, Arif sudah megalami kebutaan.

Hidup dalam kedaan tidak melihat sejak kecil, tidak membuat dirinya kehilangan semangat untuk hidup, terlebih menjadi beban bagi keluarga dan orang sekitarnya.

Bermodalkan keberanian dan insting, Arif tidak mau berpangku tangan, ia pun tetap mengerjakan apa yang di kerjakan laiknya kepala rumah tangga normal lainya yang ada di Desa Tanete, Kecamatan Cina, Bone, Sulawesi Selatan, tempat dirinya tinggal saat ini.

Prinsipnya mengais rejeki dari hasil keringat sendiri lebih berkah dibanding mengharapkan uluran tangan, dan selagi masih diberi kesehatan kebutaan bukan halangan bagi dirinya untuk terus bekerja menafkahi keluarganya.

Ditemui di rumah panggung miliknya, suami Samsinar ini, mengaku, selain berprofesi sebagai tukang pijat panggil, sehari harinya Arif untuk menafkahi keluarga memilih bertani dan beternak sapi. Setiap hari dengan keterbatasan yang ia miliki, Arif berjalan mencari dan menyiapkan pakan untuk ternak miliknya.

Arif menceritakan, sebelum beternak, dirinya terlebih dahulu hidup dengan bertani, lima tahun kemudian dirinya kemudian memelihara ternak sapi. Untuk mengerjakan pekerjaan sehari-harinya Arif mengaku harus meraba dan memperkirakan apa yang ia perbuat.

“Diperkirakan saja, ya saya hapal, kalau tanamnya saya ikuti teraktor sendiri. Saya tidak mau memberatkan orang, karena kalau saya harapakan orang agak berat,” tuturnya.

Rasa malu dan tidak ingin membebani orang, Arif untuk mengerjakan pekerjaanya jarang meminta bantuan kepada orang lain, terkecuali untuk menggarap sawahnya menggunakan traktor.

sejak menggeluti pekerjaanya sebagai petani 15 tahun, dari hasil panen yang ia kumpulkan bersama istrinya Rrif sudah  memiliki ternak sendiri, membangun rumah untuk anaknya kelak. Dan yang lebih utama, di mata masyarakat Arif tidak dipandang sebagai sampah masyarakat. (***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *