Refleksi Hari Perempuan Internasional, “Kekerasan Perempuan dan Strategi Gerakan Rumah Belajar/Aduan Lembaga Advokasi IMMawati”

Refleksi Hari Perempuan Internasional, “Kekerasan Perempuan dan Strategi Gerakan Rumah Belajar/Aduan Lembaga Advokasi IMMawati”

Oleh : Yayuk Astuti

A. Kekerasan Perempuan

Pada “Deklarasi tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (1993)”, kekerasan terhadap perempuan didefinisikan sebagai “suatu tindakan kekerasan berbasis gender yang mengakibatkan, atau bisa mengakibatkan, bahaya atau penderitaan fisik, seksual atau mental perempuan, termasuk ancaman tindakan sejenis, pemaksaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, baik terjadi di ranah publik maupun kehidupan pribadi.

“Pemerintah Indonesia menandatangani Deklarasi tersebut pada tahun 2004 bersama dengan negara-negara ASEAN lainnya dan telah mempersiapkan perangkat undang-undang dan kebijakannya. Tetapi, pelaksanaannya yang lambat dan tidak memadai menjadikan perempuan di seluruh Indonesia tetap rentan terhadap kekerasaan.

Jumlah kasus Kekerasan terhadap Perempuan sepanjang tahun 2020 menurut data komnas perempuan sebesar 299.911 kasus, terdiri dari kasus yang ditangani oleh: (1) Pengadilan Negeri/Pengadilan Agama sejumlah 291.677 kasus. (2) Lembaga layanan mitra Komnas Perempuan sejumlah 8.234 kasus. (3) Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan sebanyak 2.389 kasus,

Kasus yang paling menonjol adalah di Ranah Personal (RP) atau disebut KDRT/RP (Kasus Dalam Rumah Tangga/ Ranah Personal) sebanyak 79% (6.480 kasus). Diantaranya terdapat Kekerasan Terhadap Istri (KTI) menempati peringkat pertama 3.221 kasus (50%), disusul kekerasan dalam pacaran 1.309 kasus (20%) yang menempati posisi kedua. Posisi ketiga adalah kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak 954 kasus (15%), sisanya adalah kekerasan oleh mantan pacar, mantan suami, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.

Di Ranah Publik atau Komunitas sebesar 21 % (1.731 kasus) dengan kasus paling menonjol adalah kekerasan seksual sebesar 962 kasus (55%) yang terdiri dari dari kekerasan seksual lain (atau tidak disebutkan secara spesifik) dengan 371 kasus, diikuti oleh perkosaan 229 kasus, pencabulan 166 kasus, pelecehan seksual 181 kasus, persetubuhan sebanyak 5 kasus, dan sisanya adalah percobaan perkosaan 10 kasus.

Di ranah dengan Pelaku Negara, kasus-kasus yang dilaporkan sejumlah 23 kasus (0.1 %). Data berasal dari LSM sebanyak 21 kasus, WCC (Women Crisis Center) 2 kasus dan 1 kasus dari UPPA (unit di Kepolisian). Kekerasan di ranah negara antara lain adalah: perempuan berhadapan dengan hukum 6 kasus, kekerasan terkait penggusuran 2 kasus, kebijakan diskriminatif 2 kasus, kekerasan dalam konteks tahanan dan serupa tahanan 10 kasus, serta 1 kasus dengan pelaku pejabat publik.

Di masa pandemi, perempuan dengan kerentanan berlapis juga menghadapi beragam kekerasan dan diskriminasi. Kasus kekerasan seksual masih mendominasi kasus Kekerasan terhadap Perempuan. Terdapat 42% dari 77 kasus kekerasan terhadap perempuan disabilitas merupakan kasus Kekerasan seksual, 3 perempuan dengan orientasi seksual dan ekspresi gender yang berbeda mengalami Kekerasan Seksual, dan hampir seluruh dari 203 perempuan dengan HIV/AIDS yang melaporkan kasusnya mengalami Kekerasan Seksual. Pada kelompok disabilitas, kerentanan pada kekerasan terutama dihadapi oleh penyandang disabilitas mental/intelektual. Sementara itu pada perempuan dengan HIV/AIDS serta perempuan berorientasi seksual sejenis dan transeksual, selain kasus kekerasan, dilaporkan juga kasus diskriminasi dalam layanan publik, termasuk dalam mengakses bantuan di masa pandemic COVID-19. IMG-20210308-WA0043

Di Sulawesi Selatan kekerasan pada perempuan dan anak pada tahun 2019 jumlah kasus sebanyak 1.964 kasus, dan naik pada tahun 2020 sebanyak 1996 kasus. Hal ini cukup menjadi alasan untuk organisasi keperempuanan mengambil peran dalam menekan angka kekerasan perempuan. Gerakan perempuan tidak semestinya konsen pada gerakan internal namun mampu memberikan kontribusi kepada semua perempuan. Kekerasan perempuan dari masa ke masa masih terus menjadi patologi sosial sehingga penting untuk menjadi senter gerakan para aktivisis perempuan.

B. Strategi IMMawati menghadapai kasus kekerasan Perempuan

IMMawati sebagai salah satu bagian akademisi punya kewajiban untuk ikut andil dalam menekan angka kekerasan perempuan khususnya di ranah mahasiswa. Kasus yang berkaitan dengan kekerasan, pelecehan, diskriminasi, kesehatan reproduksi, prostitusi dan penyakit menular misalnya HIV/AIDS sampai pada LGBT belum tuntas hingga hari ini.maraknya kasus-kasus tersebut dilatarbelakangi oleh banyak faktor antara lain : Budaya yang masih memberi stigma negatif yang menempatkan perempuan sebagai objek (walaupun tidak menutup kemungkinan laki-laki dapat menjadi objek kekerasan dan pelecehan, namun rata-rata terjadi pada perempuan ; Kurang tersosialisasinya hal-hal yang berkaitan dengan isu-isu diatas belum ada program tersistematis dari negara untuk meminimalisir persoalan dilingkup kampus ; Minimnya akses untuk melakukan pengaduan juga karena malu terhadap sekelilingnya (menganggap itu memalukan dan tabu untuk di adukan) ; Kondisi social-ekonomi yang berpotensi menyebabkan persoalan psikologis melakukan tindakan-tindakan negatif seperti kekerasan dan pelecehan.

Bidang IMMawati ataupun lembaga khusus yang berkaitan dengan isu gender ditubuh internal Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah memiliki potensi untuk melakukan gerakan meminimalisir hal-hal diatas dengan cara yang humanis sesuai dengan nilai dasar islam. Gerakan ini akan dimulai dari kampus dengan basis mahasiswa yang merupakan teman sebaya sehingga Ikatan Mahasiswa Muhammdiyah mampu lebih gesit dan relevan dalam aksinya karena sesuai dengan isu seusianya.

Rumah belajar/aduan adalah salah satu solusi strategi gerakan IMMawati untuk menekan angka kekerasan perempuan. Konsep ini telah lama ada di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah namun belum di realisasikan oleh IMMawati. Ada empat divisi rumah aduan IMMawati yakni (1) Kajian dan pengembangan, Bertugas mengumpulkan kasus yang pernah ada dan mengkaji isu kontemporer. Selain itu melakukan upaya pendekatan ke basis agar dapat mengetahui kemungkinan ditemukannya kasus-kasus yang belum masuk pada aduan. (2) Publikasi, Bertugas melakukan publikasi seperti membuat pamphlet, majalah, atau lainnya untuk sosialisasi isu (misalnya membuat pamphlet sosialiasi tentang indikator dan cara melawan pelecehan seksual, dan lain-lain). (3) Aduan, Bertugas menerima aduan dari korban dan menindaklanjuti dengan pendampingan, untuk kasus yang perlu penanganan hukum maka perlu melakukan kerjasama dengan lembaga yang lebih kompeten untuk menangani misalnya membawanya ke lembaga bantuan hukum yang ada atau di lembaga swadaya masyarakat yang memiliki kapasitas membantu secara hukum ( Pemerintah, Muhammadiyah, Aisyiyah, dan LSM ). (4) Jaringan, Bertugas mengelola dan mengembangkan jaringan yang mendukung tugas-tugas organisasi.

Ada beberapa garapan isu seusia yang dapat di angkat yakni, Kekerasan terhadap perempuan (mahasiswa), Pelecehan Seksual, Diskriminasi berbasis gender, Kesehatan Reproduksi, Prostitusi kalangan mahasiswa, Kejahatan publikasi Ilegal, Dan lainnya yang relevan dengan usia mahasiswa.

Gerakan IMMawati adalah gerakan tutor sebaya karena IMMawati bertanggungkawab atas terbina nya ilmu dan iman perempuan-perempuan di kampus. Tentunya banyak gerakan yang bias dilakukan, rumah belajar/aduan ( lembaga Advokasi IMMawati) adalah salah satu. (#)

 

Yayuk Astuti

Ketua Bidang IMMawati DPD IMM Sulsel 2018-2020

Sekretaris Nasyiatul Aisyiyah Kab. Sidrap 2017- 2022

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *