JAKARTA, Penarakyat.com — Sehubungan dengan beberapa pemberitaan yang berkembang di beberapa media massa mengenai “Jaksa Agung Sebut Korupsi di Bawah Rp 50 Juta Cukup Kembalikan Kerugian Negara”, melalui Siaran Pers ini, Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung menyampaikan beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, kami ingin menyampaikan pada Rapat Kerja dengan Komisi III DPR RI pada Senin 17 Januari 2022, beberapa Anggota Komisi III DPR RI memberikan pertanyaan kepada Jaksa Agung RI.
Anggota Komisi III DPR RI Bapak Benny K. Harman yang pada pokoknya menyampaikan kepada Bapak Jaksa Agung RI “Kasus korupsi di bawah 1 juta janganlah diproses.
Tapi sampai saat ini, kami dapat data banyak kasus korupsi di bawah Rp1 juta masih diproses. Ini yang kemudian dibilang hukum kita ini tumpul ke atas tajam ke bawah. Alangkah baiknya kalau pak JA membuat kebijakan supaya kasus korupsi 1 juta ke bawah tidak diproses. Lebih baik proses kasus besar daripada kasus kecil”.
Selanjutnya, Anggota Komisi III DPR RI Bapak Supriansa juga menyampaikan kepada Bapak Jaksa Agung RI, “Tidak sedikit kasus dana desa dengan nilai rendah yang anggaplah hanya beda 7 juta, beda 5 juta tapi karena masuk di pengadilan mesti ada tuntutan dan akhirnya diputus sekian tahun.
Kalau dipikir-pikir, kalau nilainya kecil seperti itu, saya mengharapkan Jampidsus ada terobosan pengembalian uang daripada di penjara orang ini.
Lebih banyak biaya makan dia didalam ketimbang dengan apa yang kita kejar. Toh juga bangsa ini memiliki keterbatasan soal ketersediaan Lapas yang sudah over capacity. Luar biasa kalau kita paksa masuk tapi nilainya rendah. Apa ada solusi atau memang kita harus lurus tegak memenjarakan orang meskipun nilainya cukup kecil?.”
Atas kedua pertanyaan tersebut, Bapak Jaksa Agung RI pada Rapat Kerja hari Kamis 27 Januari 2022, memberikan penjelasan bahwa terhadap perkara-perkara Dana Desa yang kerugiannya tidak terlalu besar dan perbuatan tersebut tidak dilakukan secara terus menerus (keep going) maka dihimbau untuk diselesaikan secara administratif dengan cara mengembalikan kerugian tersebut dan terhadap pelaku dilakukan pembinaan melalui Inspektorat untuk tidak mengulangi perbuatannya.
Selanjutnya, Bapak Jaksa Agung menjelaskan, terkait perkara korupsi dengan nilai kerugian keuangan negara Rp1.000.000,- (satu juta rupiah), sesuai data yang kami terima, terdapat 1 (satu) penyidikan yang dilakukan oleh Polresta Pontianak dalam perkara Pungutan Liar (Pungli) yang melibatkan seorang wasit dengan nilai Rp2.200.000,- (dua juta dua ratus ribu rupiah) dan saat ini perkara tersebut masih dalam tahap Pra-Penuntutan di Kejaksaan Negeri Pontianak.
Perkara tersebut tidaklah berkaitan dengan kerugian keuangan negara, namun terkait dengan upaya pemberantasan pungutan liar (saber pungli).
Oleh Karenanya penanganannya diharapkan dilakukan secara profesional dengan memperhatikan hati nurani dan/atau menggunakan instrumen lain selain Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan untuk perkara Tipikor yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, Kejaksaan Agung telah memberikan himbauan kepada jajaranya untuk tindak pidana korupsi yang kerugian keuangan negaranya di bawah Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) untuk diselesaikan dengan cara pengembalian kerugian keuangan negara sebagai upaya pelaksanaan proses hukum secara cepat, sederhana dan biaya ringan.
Adapun penjelasan di atas, merupakan respon Bapak Jaksa Agung RI dan himbauan yang sifatnya umum untuk menjadi pemikiran bersama dan diperoleh solusi yang tepat dalam penindakan tindak pidana korupsi yang menyentuh baik pelaku dan masyarakat di level akar rumput, yang secara umum dilakukan karena ketidaktahuan atau tidak ada kesengajaan untuk menggarong uang negara, dan nilai kerugian keuangan negaranya pun relatif kecil.
Seperti misalnya, seorang Kepala Desa tanpa pelatihan tentang bagaimana cara pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, ia harus mengelola dana desa senilai Rp1 Miliar untuk pembangunan desanya. Hal ini tentunya akan melukai keadilan masyarakat, apabila dilakukan penindakan tindak pidana korupsi padahal hanya sifatnya kesalahan administrasi (misalnya kelebihan membayar kepada para tukang atau pembantu tukang dalam pelaksanaan pembangunan di desanya dan nilainya relatif kecil serta Kepala Desa tersebut sama sekali tidak menikmati uang-uang tersebut).
Contoh lainnya, seorang bendahara gaji membuat nilai gaji yang lebih besar dari yang seharusnya diterima oleh beberapa pegawai di suatu instansi pemerintah. Ini pun suatu maladministrasi, yang akan melukai keadilan masyarakat, jika kasus-kasus tersebut ditangani dengan menggunakan instrumen Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Oleh karena itu, Bapak Jaksa Agung RI menghimbau untuk dijadikan renungan bersama bahwa penegakan hukum tindak pidana korupsi pun harus mengutamakan nilai keadilan yang substantif selain kemanfaatan hukum dan kepastian hukum.
“Upaya preventif pendampingan dan pembinaan” terhadap Kepala Desa oleh jajaran Kejaksaan atau inspektorat kabupaten/kota, menjadi hal yang sangat penting dan prioritas. Selain itu, upaya penyadaran kepada pelaku untuk secara sukarela mengembalikan kerugian keuangan negara yang timbul akibat perbuatannya merupakan hal-hal yang meringankan apabila pengembalian kerugian keuangan negara dilakukan pada tahap penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di persidangan.
Kejaksaan mengapresiasi, jika terduga pelaku telah mengembalikan secara sukarela, ketika tim inspektorat telah turun dan menemukan kerugian keuangan negara sebelum tindakan penyidikan dilakukan oleh aparat penegak hukum, dan perkara itu sifatnya kesalahan administratif serta kerugian keuangan negara yang timbul juga relatif kecil. Untuk perkara yang model inilah Bapak Jaksa Agung RI wacanakan dalam bentuk himbauan untuk ditangani dengan menggunakan instrumen lain selain instrumen undang-undang tindak pidana korupsi.
Himbauan Bapak Jaksa Agung RI bukanlah untuk impunitas pelaku tindak pidana korupsi dengan kerugian keuangan negara yang relatif kecil, tetapi wacana itu dibuka untuk dibahas ke publik agar penindakan tindak pidana korupsi pun berdasarkan pemikiran yang jernih atas hakikat penegakan hukum itu sendiri, yaitu pemulihan pada keadaan semula.
Kedua, terkait perkara korupsi dengan nilai kerugian keuangan negara di bawah Rp1.000.000 (satu juta rupiah), perkara tersebut tidaklah berkaitan dengan kerugian keuangan negara, namun terkait dengan upaya pemberantasan pungutan liar (saber pungli). Oleh karenanya, Bapak Jaksa Agung RI menyampaikan pada saat di DPR RI agar penanganannya diharapkan dilakukan secara profesional dengan memperhatikan hati nurani dan/atau menggunakan instrumen lain selain Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Selanjutnya, Bapak Jaksa Agung RI juga menyampaikan untuk perkara tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, Kejaksaan Agung telah memberikan himbauan kepada jajarannya untuk tindak pidana korupsi yang kerugian keuangan negaranya di bawah Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) agar diselesaikan dengan cara pengembalian kerugian keuangan negara sebagai upaya pelaksanaan proses hukum secara cepat, sederhana dan biaya ringan.
Sedangkan pandangan terkait analisis nilai ekonomi dalam tindak pidana korupsi juga perlu menjadi perhatian aparat penegak hukum dimana dapat dibayangkan korupsi Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) harus ditangani oleh aparat penegak hukum (dari penyidikan sampai dengan eksekusi) dengan biaya operasional penanganan perkara yang dikeluarkan oleh Negara bisa melebihi dari Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dari kerugian Negara yang ditimbulkan tersebut, hal ini akan menjadi beban pemerintah seperti biaya makan, minum dan sarana lainnya kepada Terdakwa apabila Terdakwa tersebut diproses sampai dengan eksekusi (di Lembaga Pemasyarakatan). Artinya, analisis cost and benefit penanganan perkara tindak pidana korupsi juga penting menjadi pertimbangan dalam rangka mencapai nilai keadilan masyarakat dan nilai kemanfaatan hukum.
Demikian siaran pers ini kami sampaikan, dimana Bapak Jaksa Agung RI mengharapkan penjelasan ini tidak menjadi pemberitaan negatif di masyarakat. (Triss)