Makassar – Yudi, begitu dia akrab disapa, tengah merampungkan karyanya itu di Artmosphere, yang merupakan studio dan galeri seni, di Jalan Abdullah Daeng Sirua Lorong 8 Makassar, Minggu sore, 3 Juli 2022.
“Lukisan ini bertema pesan-pesan nenek moyang dengan muatan humanis dan istilah-istilah orang tua zaman dahulu,” terang Muhammad Suyudi, tentang lukisan yang dibuat di atas kertas menggunakan cat tembok dan woodfiller.
Artmosphere direncanakan menjadi tujuan wisata seni dalam lorong. Ikut meramaikan program wisata lorong Pemkot Makassar.
Yudi sudah 3 hari menggarap lukisannya pada dinding sepanjang 21 meter dengan tinggi 2 meter di Artmosphere.
Rata-rata dia mulai melukis setelah salat Isya, sekira pukul 20.00 sampai 01.00 dini hari. Dia melukis di situ setelah pulang kerja sebagai dosen di Fakultas Seni dan Desain UNM. Dia mengajar sejak tahun 2017, tapi baru terangkat sebagai PNS tahun 2021.
Darah Bugis mengalir pada pelukis kelahiran Lajokka, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, 24 Septeber 1989 itu. Inilah yang jadi salah satu alasan dia mengangkat nilai-nilai kearifan dan budaya lokal.
Misalnya, dia menggambar bentuk yang menyerupai sosok ayam. Katanya, kalau di rumah orang Bugis, ada yang dibilang ma’manu-manu karena di atap rumah ada hiasan ayam. Sedangkan di bawah atap, ada yang namanya timpak laja. Yakni susunan pada atap rumah yang menunjukkan status sosial dan posisi seseorang di tengah masyarakat.
Menurutnya, pada umumnya yang dilihat orang secara kasatmata bahwa ma’manu-manu itu, bagaimana kedudukan seseorang dari timpak lajanya. Padahal, sebenarnya ma’manu-manu itu lebih pada merasakan energi positif sebuah keluarga yang terpancar di sekitar tempatnya bermukim.
“Jadi, pada hakikatnya, ma’manu-manu itu bukan hanya berlaku di rumah orang Bugis, tapi ini soal aura dan nilai positif yang mesti dipancarkan setiap rumah,” papar Yudi, yang beberapa kali menyebut nama Prof HA Mattulada sebagai referensinya.
Pada lukisan dengan dominan garis-garis hitam yang lugas itu, lanjutnya, ada banyak sekali simbol. Tapi intinya, bagaimana kita memulai semuanya dengan cinta. Kalau diperhatikan secara saksama, ini sebuah lukisan yang berkonsep. Ada kalimat basmalah yang dilukis dari ujung kanan ke kiri. Tapi dia tidak mau terkesan bahwa karyanya itu merupakan lukisan kaligrafi. Memang, lukisan ini terdapat banyak aksara lontara, yang sekilas terlihat seperti ragam hias.
Saat berbincang dengan Rusdin Tompo, penulis dan penggiat literasi, Yudi menjelaskan bahwa dari segi pewarnaan, dia banyak memakai warna madu. Warna madu itu terkait lebah. Karena lukisan itu juga mengusung isu feminisme, yang juga banyak dibahas dalam Alquran. Bahwa peran wanita begitu penting dan mulia. Bisa dilihat pada lebah pekerja dan lebah yang menghasilkan madu itu bersifat feminin.
“Wanita adalah ibu manusia,” katanya filosofis.
Obrolan dengan Yudi sempat terhenti ketika ada panggilan telepon masuk ke smartphone-nya. Dia minta izin mengangkat telepon itu. Katanya, dari ibunya di Tanah Suci Makkah, yang akan menunaikan ibadah haji.
Yudi bercerita. Dia semula tidak bercita-cita jadi pelukis. Cuma, kala masih kecil, dia suka dan nyaman kalau tengah menggambar. Dia sempat diterima di Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran Unhas, tahun 2008, lewat jalur Ujian Masuk Bersama (UMB). Namun begitu pendaftaran ulang, dia kabur karena merasa jauh dari passion-nya.
Yudi mulai beraktivitas pameran di Makassar, tahun 2012. Sejak itu, hampir semua pameran di Makassar pernah diikuti. Ini yang membuka aksesnya bisa berinteraksi dengan perupa senior. Dia pernah berpameran di Galeri Nasional sebanyak empat kali. Pertama pameran Narasi Zaman (2012), Alur (2016), serta dua kali Pameran Nusantara, masing-masing 2017 dan 2021.
Proses kreativitasnya sebagai perupa tergantung ide. Kalau lagi ada ide bikin patung, dia akan membuat patung. Kalau lagi ada ide buat seni instalasi, dia akan membuat karya instalasi. Selebihnya dia melukis. Lukisannya bergaya ekspresionis. Sekarang dia lagi melatih garis, yang dia ibaratkan seperti seorang prajurit yang harus menguasai senjata untuk bisa memenangkan pertempuran.
Pameran lukisan yang diikuti Yudi ini merupakan bagian dari kegiatan Makassar Art Initiative Movement (MAIM), sebuah wadah bagi para perupa Indonesia Timur. Dia bergabung di MAIM sejak awal didirikan, tahun 2018, diajak oleh Faisal Syarif. Sekarang Yudi merupakan Sekretaris MAIM.
MAIM menggelar pameran dengan pola melukis secara bergantian pada dinding yang sama, sejak 26 Mei 2022. Begitu lukisan jadi, akan dipamerkan minimal selama sehari. Tapi ada kalanya 4-5 hari baru diganti.
Jenry Pasassan, perupa sekaligus pemilik Artmosphere, mengungkapkan bahwa yang pertama merespons dengan melukis seluruh dinding studio adalah Faisal Syarif. Dia menggunakan cat tembok dan tinta cina. Kedua, adalah dirinya, dengan bahan kertas dan cat tembok. Saat finishing dia memakai lampu neon fleksibel.
Ketiga, Ahmad Fawzy dengan cat tembok, spidol, dan tinta cina, Keempat Anzul, bahannya cat tembok dan tinta cina. Selanjutnya Faisal Syarif lagi, lalu Asman, dengan bahan kertas, cat tembok dan spidol. Jadi, lukisan Yudi merupakan pameran ketujuh yang dilakukan MAIM.
Faisal Syarif, yang sudah dua kali menuangkan ide lewat lukisannya di situ, menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan cara mereka untuk setiap hari saling menguatkan, saling belajar. Untuk lebih mengesplorasi ide. Karena, katanya, di seni rupa itu, “eksplorasi” merupakan jantungnya. Biar selalu ada kebaruan.
“Kebaruan itu penting kalau bicara seni rupa kontemporer,” kata lelaki yang gemar bertopi itu.
Ditambahkan, di MAIM itu dibuat pola bahwa ini adalah sebuah gerakan yang mudah, konsisten, dan tidak membebani. Empat hal ini jadi rule mereka dalam proses berkarya. Ini upaya mereka agar tidak terbelenggu saat berkesenian.
Dia menyukai gagasan dan konsep ini, yang disebutnya menantang. Diakui bahwa mereka sering berdiskusi, tapi lebih penting dari itu langsung praktik. Jadi harus bergerak tanpa harus menunggu konsepnya matang terlebih dahulu. Akhirnya, pola ini jadi gaya unik dari MAIM.
Bahkan sekarang ini, katanya, mereka rebutan. Siapa yang punya waktu, langsung mengeksekusi. Ini semacam kampus merdeka, yang selalu memproduksi pengetahuan baru.
“Ini yang kami sebut Maimstream,” pungkas perupa yang akrab disapa Ical itu.