WAJO, penarakyat.com — Dalam rangka pengawasan konten media sosial Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) melakukan kerjasama dengan meta dan tiktok.
“Sementara untuk pidananya dari Bawaslu ke siber crime,” kata Komisioner Bawaslu Sulsel, Divisi Pencegahan Saiful Jihad saat menghadiri acara Ngopi (Ngobrol dan Awasi Pilkada) yang digelar oleh Bawaslu Wajo, di Garden Coffe, Sabtu (26/10/2024).
Dia menjelaskan konten-konten yang dilarang tentu jelas di pasal 69 undang-undang 10 tahun 2016.
“Mou kami dengan meta tentu diantaranya adalah ujaran kebencian, menghasut dan hoax,” katanya.
Untuk take dwonnya sendiri dari meta, alurnya, semua konten yang dianggap melanggar ini akan disampikan langsung oleh Bawaslu RI ke meta maupun tiktok.
“Jadi permintaan take dwon konten yang melanggar dilakukan langsung oleh bawaslu RI dari hasil pengawasan pengawas pemilu secara berjenjang,” jelasnya.
Pimpinan Bawaslu Wajo, Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat dan Humas, Heriyanto menjelaskan dugaan pelanggaran konten internet (siber) antara lain, dugaan Pelanggaran kampanye Pemilihan, yakni konten internet yang
memuat larangan kampanye sesuai ketentuan pada Pasal 69 sampai dengan Pasal 73 Undang- Undang Pemilihan.
“Hoaks, yakni konten internet yang memuat informasi bohong terkait Pemilihan,” katanya.
Adapun dasar hukumua, kata Herianto yakni Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024: “setiap
Orang dengan sengaja menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan
bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat”.
Pasal 69 huruf c Undang Undang Pemilihan: ”dalam Kampanye
dilarang: melakukan kampanye berupa menghasut, memfitnah,
mengadu domba Partai Politik, perseorangan, dan/atau kelompok
masyarakat.”
“Ciri-ciri konten yang memuat hoaks Pemilihan di antaranya, konten cenderung memerangkap pembacanya dengan cara memancing rasa benci, takut, dan senang,” katanya.
Ciri lainnya adalah, judul konten biasanya menggunakan judul bombastis, bahkan tidak
berkaitan dengan isi, konten berasal dari sumber yang tidak terpercaya, informasi mustahil, tidak masuk akal.
“Selanjutnya adalah ujaran Kebencian, yakni konten internet yang memuat unsur ujaran kebencian
terkait Pemilihan, yakni menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik terkait Pemilihan,” jelasnya.
Dasar hukum yang digunakan untuk ujaran kebencian adalah Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024: “setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap
individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras,
kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin,
disabilitas mental, atau disabilitas fisik.
Pasal 69 huruf b Undang-Undang Pemilihan: “dalam Kampanye dilarang, menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, Calon
Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati,
Calon Walikota, Calon Wakil Walikota, dan/atau Partai Politik.
“Ciri-ciri konten yang memuat ujaran kebencian terkait Pemilihan di
antaranya, menargetkan seseorang berdasarkan identitas seseorang atau
masyarakat, bukan sekadar perilaku, menggunakan frasa yang melegitimasi permusuhan atau menghasut
tindakan bermusuhan dan mengandung penghinaan atau frasa yang mengatributkan kualitasnegatif pada identitas target, baik secara terang-terangan maupun
secara kontekstual,” tandasnya. (Jum)