SIDRAP, Penarakyat.com — Kasus penembakan mobil rental milik warga Sidrap oleh personel Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Sulawesi Selatan kini berubah menjadi sorotan nasional.
Tidak hanya karena dugaan salah sasaran, tetapi juga karena muncul pertanyaan serius tentang legalitas dan kelayakan petugas sipil BNN yang dipersenjatai dalam operasi lapangan.

Peristiwa yang terjadi di Desa Lainungan, Kecamatan Watang Pulu, Sidrap, Selasa dini hari (14/10/2025) itu membuat publik bergidik. Mobil Mitsubishi Xpander milik Hasdar, warga Tanru Tedong, ditemukan berlubang di delapan titik akibat tembakan. Bekas peluru menembus kaca depan hingga jok kursi pengemudi—menandakan bahwa peluru tidak diarahkan untuk menghentikan, melainkan berpotensi mematikan.
Beberapa warga yang menyaksikan pasca-kejadian menaruh curiga bahwa pelaku penembakan bukan aparat kepolisian aktif, melainkan oknum sipil yang dilibatkan dalam operasi BNNP.
“Kalau petugas resmi, harusnya bidikannya profesional. Tapi peluru tembus ke bodi dan kaca depan. Ini bukan peringatan, ini niat mematikan,” ujar salah satu warga yang enggan disebut namanya, Minggu (26/10/2025).
Warga mendesak BNN RI turun langsung untuk menyelidiki dan menindak tegas pelaku.
Mereka menilai pemeriksaan internal BNNP Sulsel berpotensi tidak transparan dan hanya untuk meredam isu publik.
“Kalau betul yang nembak bukan polisi, itu pelanggaran serius. Tidak bisa ada warga sipil diberi senjata dan ikut operasi,” tambahnya.

Kasi Intel BNNP Sulsel, Agung FS, membenarkan bahwa penembak sedang diperiksa secara internal, namun membantah dugaan pelibatan warga sipil.
“Tidak benar kalau itu sipil bersenjata. Pelaku dalam pemeriksaan internal, sabar saja hasilnya akan disampaikan,” ujarnya singkat.
Namun publik justru menyoroti pernyataannya yang berubah-ubah.
Awalnya Agung menyebut dua pria pengemudi mobil, HR dan RF, hendak menjemput ekstasi sebanyak 94 butir. Tak lama kemudian, keterangannya berubah: kedua pria itu disebut sebagai pemilik narkoba tersebut.
Sampai kini, tidak ada satu pun barang bukti narkotika yang disita dari kendaraan korban.
Dari sisi regulasi, BNN memang memiliki kewenangan melakukan tindakan represif dalam penegakan hukum narkotika. Namun, tidak semua pegawai BNN memiliki hak untuk membawa senjata api.
Sesuai dengan Peraturan Kepala BNN Nomor 6 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penggunaan Senjata Api di Lingkungan BNN, hanya penyidik, penyidik pembantu, dan personel pengamanan (security internal) tertentu yang telah melalui uji kelayakan, psikotes, serta pelatihan tembak bersertifikat Polri yang diperbolehkan membawa senjata.
Artinya, pegawai darinsioil (sipil BNN) yang tidak memiliki latar belakang kepolisian tidak otomatis berhak dipersenjatai, apalagi ikut dalam operasi pengejaran dan penindakan lapangan.
“Kalau memang benar ada unsur sipil bersenjata dalam operasi, itu pelanggaran etik dan hukum. Penggunaan senjata api harus di bawah kendali resmi dan atas dasar ancaman nyata,” ujar seorang pengamat hukum pidana dari Makassar yang enggan disebutkan namanya.
Hasdar, pemilik mobil, mengaku mengalami kerugian besar akibat insiden itu. Ia menegaskan bahwa kendaraannya disewa oleh seorang kepala dusun dan dipinjamkan ke dua pria lain tanpa sepengetahuannya.
“Saya temukan mobil sudah penuh lubang peluru. Polisi bilang tidak tahu, BNN diam saja. Mobil saya hancur, tapi tidak ada yang tanggung jawab,” ungkapnya kecewa.
Hingga kini, ia belum menerima ganti rugi ataupun klarifikasi resmi dari BNNP Sulsel.
Kasus ini menambah daftar panjang pelanggaran prosedural oleh aparat penegak hukum.
Penembakan tanpa verifikasi kuat, penyidikan tanpa transparansi, dan perubahan keterangan yang kontradiktif menjadi indikasi krisis akuntabilitas dalam tubuh lembaga penegak hukum.
“Keadilan tidak boleh dijalankan dengan peluru. Setiap operasi yang menembus hukum dan kemanusiaan, pada akhirnya hanya akan menembak kepercayaan publik itu sendiri,” tulis seorang aktivis anti-kekerasan dalam komentarnya di media sosial.
Masyarakat Sidrap kini menuntut agar BNN RI segera mengambil alih kasus ini, bukan sekadar menunggu laporan internal.

Selain untuk mencari kebenaran hukum, langkah itu juga penting untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara yang seharusnya melindungi, bukan menakuti rakyatnya.
“Kalau salah tembak, akui dan tindak. Jangan biarkan publik berpikir BNN sekarang jadi lembaga yang menembak dulu, baru cari tahu siapa targetnya,” tegas salah satu tokoh masyarakat Watang Pulu.
Kasus Sidrap bukan hanya tentang peluru yang meleset dari sasaran, tapi juga tentang pelanggaran batas kewenangan yang bisa merusak fondasi kepercayaan hukum di negeri ini.
Jika BNN tidak segera menegakkan transparansi dan akuntabilitas, maka bukan hanya mobil warga yang bolong—tapi juga reputasi institusi yang seharusnya menjadi benteng moral perang melawan narkotika. (Ady)











Tinggalkan Balasan