Bulan suci Ramadan tidak hanya membawa keberkahan bagi mereka yang bebas menjalani ibadah di luar sana, tetapi juga bagi mereka yang berada di balik jeruji besi. Di berbagai rutan dan lapas, Ramadan diisi dengan pesantren kilat, tadarus Al-Qur’an, sholat tarawih berjamaah, hingga ceramah keagamaan. Harapannya, program ini bisa menjadi jalan bagi warga binaan untuk menemukan makna pertobatan dan perbaikan diri.
Di Rutan Malino, antusiasme warga binaan dalam mengikuti ceramah dan sholat tarawih berjamaah menandakan betapa besar kebutuhan mereka akan bimbingan spiritual. Hal yang sama terlihat di Lapas Kelas IIA Parepare, di mana kegiatan seperti pesantren kilat, tadarus “One Day One Juz”, hingga sholat tarawih bersama Walikota Parepare berlangsung dengan khidmat.
Namun, muncul pertanyaan penting: apakah program ini benar-benar menjadi jalan bagi warga binaan untuk berubah, atau hanya sekadar seremoni tahunan yang tidak berdampak jangka panjang?
Pembinaan keagamaan selama Ramadan memang memberikan pencerahan spiritual bagi warga binaan, tetapi tanpa tindak lanjut yang berkelanjutan, hasilnya bisa saja memudar setelah bulan suci berlalu. Seharusnya, program ini tidak hanya berlangsung saat Ramadan, melainkan menjadi bagian dari strategi rehabilitasi jangka panjang yang melibatkan pendidikan agama, pelatihan keterampilan, dan pembinaan karakter secara menyeluruh.
Tadarus Al-Qur’an “One Day One Juz” yang dilakukan di Lapas Parepare, misalnya, seharusnya tidak hanya menjadi kegiatan sesaat, tetapi bisa menjadi kebiasaan yang terus berjalan sebagai bagian dari pembinaan spiritual jangka panjang.
Ramadan di balik jeruji harus lebih dari sekadar tradisi tahunan. Ini harus menjadi momentum nyata bagi perubahan, bukan hanya bagi warga binaan, tetapi juga bagi sistem pemasyarakatan agar lebih menekankan aspek pembinaan, bukan sekadar hukuman. (*/Tajuk penarakyat)
Tinggalkan Balasan