Oleh : Wardi Siradj (Humas Kanwil Kemenag Sulsel)
Kerukunan umat beragama di Indonesia dari sabang sampai Merauke telah dibangun sejak lama dan terawat dengan baik. Nilai-nilai agama dan Budaya sejak lama telah mengajarkan dan menanamkan kedamaian dan saling menghormati menjadi pedoman masyarakat di sana demi mewujudkan hubungan harmoni, nilai nilai ini Kerukunan bagi Masyarakat sulsel ini terukir dalam nilai budaya seperti sipakainga, sipakalebbi, sipatokkong dan sebagainya.
Kendati Negara Kita khususnya Provinsi Sulawesi Selatan Berpenduduk mayoritas pemeluk Islam, Namun kerukunan yang terbangun antara umat muslim dan non-muslim di Sulsel berlangsung dengan tanpa adanya gesekan dan konflik akibat faktor agama. Ini dibuktikan dengan rilis Indeks Kerukunan di Provinsi Sulsel termasuk kategori tinggi, bahkan lebih tinggi nilainya dibanding angka Secara Nasional.
Sesuai dengan fakta di lapangan, kehidupan masyarakat umat beragama di Indonesia Khususnya di Provinsi yang menjadi gerbang utama Indonesia Timur adem ayem, nyaris tidak ada (Minim) konflik antar umat beragama. Rasa toleransi antar sesama pemeluk agama terangkai dengan baik. Tokoh atau para Pembimbing Masyarakat (Pembimas) baik Katolik, Kristen, Hindu, Buddha bahkan Konghuchu di Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kanwil Kemenag) Prov. Sulsel sepakat menyuarakan, meski sebagai minoritas kehidupan masyarakatnya berlangsung dengan aman dan nyaman.
Seperti saat Ramadhan 1441H/2020M, para pemuka agama di Sulsel mengikuti aturan dan kearifan masyarakat Sulsel di bulan suci Ramadhan. Sebagai Pembina Masyarakat dan Agama dan Umat Ber-Agama di Sulsel yaitu Kanwil Kemenag Prov. Sulsel, Anwar Abubakar mengatakan di Ruang Kerjanya (Selasa, 1 September 2020), di bulan Ramadhan umat selain Islam di Sulsel tidak memiliki keluhan. Bahkan, menurutnya hal ini adalah kesempatan untuk menunjukkan bahwa umat non Muslim di Sulsel sangat menghargai perbedaan.
Ia mencontohkan, salah satu bentuk menghargai perbedaan di Sulsel, ada pemilik toko yang beragama Non Muslim meminta dan memberikan keringanan para pekerjanya yang muslim untuk pulang lebih cepat di bulan Ramadhan. Bahkan sampai menyediakan Tunjangan Hari Raya bagi Karyawan atau pekerjanya yang beragama Islam.
Intinya, masyarakat dan umat beragama di Sulsel telah menunjukkan sikap toleransi yang sangat baik dalam menjalankan kehidupan antar umat beragama. Memang masih ada gesekan atau riak-riak kecil, tapi di sini semua pihak ikut andil membantu meminimalisir gesekan tersebut.
Maka, sudah seharusnya semua pihak bersama-sama mengupayakan tindakan sedini mungkin untuk mendeteksi hal yang dapat menimbulkan konflik. Jangan sampai seperti pemadam kebakaran, setelah terbakar baru datang. Di sinilah pentingnya upaya seperti Dialog sebagai tindakan preventif .
Sementara itu, Untuk kerukunan di Provinsi Papua sendiri terbukti dengan indeks tertinggi. Hal ini tampak dari indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) tahun 2019 yang dirilis Kemenag. Fenomena ini menunjukkan bahwa Sulsel dan Papua telah merawat kerukunan, dan masing masing daerah memiliki kelebihan dan cara masing-masing.
Indonesia sangatlah luas, dari Sabang hingga Maurake dengan beragam budaya dan agama, semua berkewajiban menjaga dan merawat kerukunan umat beragama untuk NKRI tetap jaya. Sulsel dan Papua merupakan gerbangnya Indonesia Timur, dengan letak geografis yang jauh. Maka, dengan silaturrahmi, dialog dan saling berbagi, akan terjalin persaudaraan dan persatuan yang lebih baik.
Sulsel dan Papua tentu memiliki perbedaan adat, suku, bahasa dan agama. Namun, perbedaan tersebut bukanlah persoalan, jika semua masyarakat saling menghargai dan paham arti perbedaan. Kerukunan umat beragama merupakan inti dari kerukunan nasional. Oleh karena itu, menjaga dan merawat kerukunan umat beragama itu sangat penting, baik itu kerukunan umat secara internal maupun antar umat beragama.
Untuk menyemai kerukunan di Nusantara, dimulai dari Papua dan Aceh, Kemenag dalam hal ini Menteri Agama RI menggulirkan program jembatan kesetiakawanan Aceh-Papua. Jembatan ini dibangun dengan mengintensifkan dialog tokoh agama lintas kawasan, program pendidikan dan rumah ibadah, sehingga jembatan ini mampu menyatukan semua dengan rukun dan damai.
Namun, perlu diketahui bahwa kerukunan itu dinamis serta tidak bisa diukur dengan angka. Menilai kerukunan dengan angka hanya akan menimbulkan tanda tanya di tengah masyarakat, apalagi kalau secara riil kondisinya kondusif. Maka, lihatlah lebih dalam tentang keberlangsungan kehidupan umat beragama tersebut, hidup damai, penuh rukun dan tak ada konflik. Biarlah ia tetap seperti itu tak harus ada angka-angka untuk mengukur rukun atau tidak. Sebab, angka tidak mampu menggambarkan kondisi kerukunan umat beragama.
Kondisi hari ini, Pemerintah, tokoh agama, tokoh adat, ormas dan masyarakat harus menjadi garda terdepan dalam mengampanyekan kerukunan di Nusantara, mengampanyekan moderasi beragama, serta mengcounter isu-isu hoaks yang dapat membelah umat. Semua kita memiliki saham untuk menebar kedamaian dan kebijakan, punya peran untuk menjaga keselarasan dalam beragama dan memastikan terawatnya kerukunan secara menyeluruh.
Biasanya, kerukunan sedikit terusik saat memasuki tahun politik. Semoga perjalanan waktu semakin mendewasakan masyarakat dalam melihat perbedaan, termasuk beda pandangan politik. Semoga program jembatan kesetiakawanan ini mampu menjawab problematika kerukunan di Nusantara. Dan Kementerian Agama Sulsel siap mengambil bagian dari program Cinta Papua yang digulirkan Kementerian Agama RI, sebagai bentuk tanggungjawab moral dan partisipasi Masyarakat Sulsel dalam menyemai Kerukunan di NKRI tercinta. (*)