SIDRAP, Penarakyat.com – Kasus kematian Mona Kelana Putri (34) di Wisma Grand Dua Pitue, Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap) Sulawesi Selatan, menyisakan duka mendalam dan kisah pahit Lika liku kehidupan berumah tangga yang berujung kematiannya.

Namun, lebih dari sekadar catatan kriminal, peristiwa ini membuka tabir getir kehidupan rumah tangga yang porak poranda oleh kemiskinan.

Di balik pintu kamar sewaan berharga Rp250 ribu per malam, tersimpan kisah tentang perjuangan hidup, cinta yang kalah oleh ekonomi, hingga stigma sosial yang akhirnya menelan korban jiwa.

Kemiskinan yang Menghimpit

Suaminya, Adnan (37), mengaku tak punya pekerjaan tetap. Sehari-hari ia hanya mengandalkan kerja serabutan yang tak tentu arah. Uang yang masuk tak cukup menutup kebutuhan rumah tangga.

Dalam pengakuannya kepada penyidik, Adnan menyebut sang istri memutuskan melakoni profesi open booking (BO) demi menghidupi keluarga. Sebuah pilihan pahit, yang diambil bukan karena keinginan, tetapi desakan keadaan.

“Dia bilang kalau bukan begini, kita tidak makan. Saya sering larang, keluarganya juga melarang, tapi dia tetap keras kepala,” kata Adnan lirih.

Utang dan Hidup di Wisma

Selama tiga bulan terakhir, pasangan ini tinggal di wisma yang akhirnya menjadi tempat berakhirnya hidup Mona. Mereka menunggak sewa kamar hingga Rp3 juta.

Janji korban untuk melunasi utang hanya bisa dipenuhi bila ia mendapat banyak tamu. Hidup yang semestinya berpijak pada rumah tangga, justru dijalani di kamar sewaan yang penuh dengan risiko.


Pertengkaran dan Ancaman Perceraian

Kisah mereka bukan sekadar soal uang. Adnan mengaku, setiap kali ia melarang istrinya, pertengkaran terjadi. Bahkan Mona sempat mengancam akan bercerai jika terus ditekan.

“Kalau saya paksa berhenti, dia bilang lebih baik cerai. Itu yang bikin saya serba salah,” ungkapnya.

Kondisi ini mencerminkan dilema sosial banyak keluarga miskin: antara mempertahankan rumah tangga atau tunduk pada realitas keras ekonomi.

Potret Sosial yang Lebih Luas

Kasus Mona bukan fenomena tunggal. Di banyak daerah, tekanan ekonomi sering menyeret perempuan pada pekerjaan berisiko. Tidak sedikit yang akhirnya terjebak dalam lingkaran utang, eksploitasi, hingga kekerasan.

Pengamat sosial dari Universitas Negeri Makassar menilai tragedi ini adalah alarm keras bagi pemerintah dan masyarakat.

“Fenomena ini menunjukkan lemahnya jaring pengaman sosial kita. Ketika tidak ada pilihan pekerjaan layak, kemiskinan memaksa orang mengambil jalan yang ekstrem. Ini bukan sekadar kasus kriminal, tapi juga persoalan kemiskinan struktural,” jelasnya.


Stigma dan Realitas

Ironisnya, perempuan seperti Mona sering hanya dikenang dengan stigma pekerja seks. Padahal, di balik itu ada cerita tentang bagaimana mereka bertahan hidup, bagaimana keluarga menggantungkan harapan, dan bagaimana lingkungan kerap abai pada nasib mereka.

“Di balik profesi itu ada air mata, ada utang, ada anak, ada perut yang lapar. Sayangnya, yang terlihat hanya label negatif, bukan alasan yang mendasarinya,” tambah pengamat tersebut.

Cinta yang Tak Pernah Utuh

Bagi Adnan, tragedi ini menjadi luka yang tak akan sembuh. Ia menyaksikan langsung bagaimana istrinya meregang nyawa di kamar yang selama tiga bulan terakhir mereka sebut sebagai rumah.

Meski sering bertengkar, meski kerap tidak sejalan, namun Adnan tetap menyebut Mona sebagai perempuan yang ia cintai.

“Dia tetap istri saya, meski banyak salahnya. Saya tidak pernah sangka, akhirnya dia pergi dengan cara seperti itu,” ucapnya dengan suara bergetar.

Refleksi: Jalan yang Tak Pernah Adil

Kematian Mona adalah potret pahit tentang bagaimana garis hidup bisa berubah karena tekanan ekonomi. Ia memilih jalan yang berlawanan dengan norma, demi sekadar bertahan hidup. Namun jalan itu pula yang akhirnya merenggut nyawanya.

Tragedi Wisma Dua Pitue menjadi pengingat bahwa kemiskinan bukan sekadar angka dalam laporan, tetapi luka nyata yang bisa mendorong orang pada pilihan berbahaya.

Selama akar persoalan ekonomi tidak terselesaikan, kasus serupa bisa kembali terjadi di tempat lain, dengan nama korban yang berbeda. (Riss)