JAKARTA, Penarakyat.com – Kabar mengejutkan datang dari wilayah pertanian utama di Jawa Timur. Hingga Oktober 2025, serapan jagung dari petani di Situbondo dan Bondowoso oleh pemerintah melalui Perum Bulog dilaporkan masih nihil. Kondisi ini memicu keprihatinan mendalam dari anggota Komisi VI DPR RI, Nasim Khan, yang langsung mendesak Bulog untuk mengambil langkah cepat dan nyata.
“Ini ironis. Kita bicara soal swasembada pangan, tapi jagung petani lokal dibiarkan begitu saja. Tidak ada serapan, padahal mereka sudah panen,” kata Nasim Khan melalui sambungan telepon , Selasa (08/10).
Nasim, politisi dari Fraksi PKB yang mewakili daerah pemilihan Jawa Timur III (Bondowoso, Situbondo, Banyuwangi), menegaskan bahwa pihaknya telah berkoordinasi langsung dengan Direktur Utama Bulog guna memastikan agar penyerapan jagung petani segera dimaksimalkan.
“Saya banyak menerima aspirasi dan pertanyaan dari masyarakat terkait hal ini. Setelah saya koordinasi dengan Dirut dan jajaran Bulog, saya sampaikan langsung: ini harus diseriusi. Kita tidak boleh membiarkan petani menjerit di lumbungnya sendiri,” ujar Nasim kepada wartawan.
Di beberapa titik di Situbondo dan Bondowoso, petani mengeluhkan harga jagung yang anjlok karena tidak adanya pembelian dari lembaga negara. Tanpa intervensi Bulog, para petani terpaksa menjual hasil panen mereka ke tengkulak dengan harga di bawah standar.
“Kalau Bulog diam saja, petani bisa rugi besar. Ini bukan hanya soal uang, tapi juga soal masa depan petani kecil dan keberlanjutan pertanian nasional,” kata Nasim.
Ia mengingatkan bahwa salah satu misi besar pemerintahan Presiden Prabowo Subianto adalah mewujudkan kedaulatan pangan, yang tertuang dalam program Asta Cita.
“Bagaimana kita mau bicara ketahanan pangan kalau hasil panen petani sendiri tidak kita serap? Negara harus hadir, dan Bulog adalah instrumen penting untuk itu,” tegasnya.
Perum Bulog selama ini memiliki mandat untuk menjaga stabilitas harga dan ketersediaan bahan pangan strategis, termasuk jagung. Namun, dalam praktiknya, penyerapan hasil panen di daerah-daerah masih sering tersendat karena berbagai alasan—dari keterbatasan anggaran, logistik, hingga kebijakan harga beli yang tidak kompetitif.
Nasim Khan meminta Bulog lebih proaktif, termasuk dalam membangun komunikasi langsung dengan kelompok tani, koperasi, hingga pemerintah daerah.
“Jangan hanya tunggu laporan. Turun ke lapangan, lihat kondisi nyata. Bulog harus menjadi mitra aktif petani, bukan hanya operator logistik negara,” ujarnya.
Kasus serapan jagung yang mandek di Situbondo dan Bondowoso disebut Nasim sebagai “alarm” bagi pemerintah pusat untuk mengevaluasi sistem distribusi dan pembelian hasil pertanian.
Ia mendorong agar ke depan ada skema penyerapan permanen yang berbasis pada kalender panen petani lokal, serta didukung oleh regulasi harga pembelian minimal (HPP) yang berpihak pada petani.
“Petani kita butuh kepastian. Kalau panen, harus ada yang beli dengan harga layak. Jangan biarkan mereka spekulasi tiap musim,” katanya.
Dengan langkah cepat dari Bulog dan dukungan nyata dari pemerintah, Nasim berharap kesejahteraan petani bisa meningkat, dan semangat bertani tidak padam di tengah janji besar swasembada.
“Petani itu tulang punggung bangsa. Kalau mereka dibiarkan merugi, maka ketahanan pangan itu hanya tinggal jargon,” pungkasnya.
Tinggalkan Balasan