Menanti Sosok Kartini di Tengah Tantangan Kehidupan Moderen

Menanti Sosok Kartini di Tengah Tantangan Kehidupan Moderen

Opini, Penarakyat.com – Bulan April seringkali dijadikan  momen untuk memperbaharui semangat  kaum perempuan Indonesia. Tanggal 21 April bangsa kita  memperingati hari Kartini. Siapa yang tidak kenal Kartini, beliau adalah salah satu tokoh perempuan Indonesia yang dikenal sebagai pejuang emansipasi wanita. Beliau adalah putri R.M. Sosroningrat seorang bangsawan sekaligus sebagai Bupati Jepara sedang ibunya bernama M.A Ngasirah yang merupakan putri seorang kiai atau guru agama di Telukkawur, Kota Jepara.  Kartini sendiri lahir di Kota Jepara tanggal 21 april 1879, hari kelahirannya itulah kemudian ditetapkan sebagai Hari Kartini yang bertujuan untuk mengenang dan menghormati jasa-jasa beliau yang gigih memperjuangkan kaum perempuan  untuk mendapatkan hak-haknya.

Di era beliau bangsa kita  masih dibawah jajahan Belanda dimana aturan serta adat istiadat yang berlaku kala itu sangat tidak berpihak pada hak-hak kaum perempuan seperti hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran agama. Beliau beragama Islam  lahir dari keluarga Islam tapi beliau tidak pernah diajarkan untuk mengenal dan memahami agamanya. Seperti dalam sepenggal suratnya yang ditujukan kepada Stella Zihandelaar bertanggal 6 November 1899;

”Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya? Alquran terlalu suci,  tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, sehingga tidak bisa dipahami setiap uslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa yang dibaca. Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya. Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?”

Itu hanyalah satu dari sekian surat yang ditulis Kartini yang berisi tentang kekecewaan terhadap aturan-aturan dan adat istiadat yang sangat membatasi ruang gerak perempuan khususnya Kartini sendiri untuk mempelajari agamanya.

Rasa kecewa inilah yang mendorong kartini untuk berusaha keluar dari masalah yang dialaminya dan mencari guru yang bisa mengenalkan Islam kepadanya. Gejolak dalam dada Kartini untuk mengenal Islam yang boleh jadi ini adalah pertanda turunnya hidayah Allah kepada seorang Kartini memaksa pamannya memenuhi permintaan Kartini untuk pempertemukannya dengan Kyai Sholeh bin Umar dari Darat, seorang kyai yang berasal dari Semarang yang dikenal dengan sebutan Kyai Sholeh Darat. Melalui Sang Kyai inilah Kartini mulai banyak belajar tentang Islam, belajar memahami makna ayat-ayat suci Alqur’an seperti surat AlFatihah yang menurut beliau isinya begitu indah dan menggetarkan sanubari.

Kartini berhasil menggugah kesadaran sang Kyai untuk menerjemahkan Alqur’an dalam bahasa Jawa yang sebelumnya beliau tidak terpikirkan untuk melakukannya yang boleh jadi karena dilarang oleh penguasa Belanda saat itu.

Sebaliknya Sang Kyai berhasil membawa Kartini mendapatkan hidayah Islam ”Minazh-Zhulumaati ilan-Nur” (dari kegelapan menuju cahaya) atau dalam bahasa Belanda ”Door Duisternis Tot Licht” yang entah ide dari siapa tulisan surat Kartini yang berjudul ”Door Duisternis Tot Licht” diartikan habis gelap terbitlah terang.

Mari kita sejenak menengok kehidupan Kartini di era akhir tahun seribu delapan ratusan dan kita bandingkan dengan masa sekarang rasanya sulit dibayangkan bagaimana seorang perempuan harus tinggal di rumah untuk dipingit tidak bisa bersekolah dan dibatasi untuk bersosialisasi. Beruntung Kartini lahir dari keluarga bangsawan jadi ada hak untuk memperoleh pendidikan karena posisi ayahnya kala itu adalah seorang bupati sehingga ada sedikit pengecualian. Ia berhasil menyelesaikan pendidikannya di ELS (Europese Langere School) hingga ia berusia 12 tahun. Walau hanya sampai pendidikan dasar tapi disitu Kartini tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menyerap ilmu yang diberikan, ia berusaha belajar bahasa belanda dan menjalin pertemanan dengan anak-anak perempuan Belanda. Berbeda dengan perempuan pribumi mereka sama sekali tidak diberi kesempatan untuk belajar, mereka seakan-akan dibiarkan terus menerus terjajah dalam kebodohan, Medea diperlakukan tidak lebih layaknya seorang budak yang setiap saat harus siap untuk melayani segala kebutuhan majikannya di rumah sehingga tidak ada waktu dan kesempatan untuk belajar dan bersosialisasi.

Melihat keadaan perempuan pribumi yang selalu dipandang rendah dan dianggap tidak penting untuk mendapatkan  pendidikan. Kartini merasa terpanggil untuk melakukan suatu perubahan, ia merasa bertanggung jawab untuk untuk membebaskan kaum perempuan dari kebodohan, mendapatkan hak-haknya dan mengangkat derajatnya tanpa menyalahi peran dan fungsinya serta fitrah wanitanya. Akhirnya pada tahun 1912 Kartini berhasil mendirikan sekolah wanita di Semarang.Sekolah itu merupakan sekolah untuk perempuan Jawa pertama di Hindia Belanda, di sekolah tersebuat Kartini mengajari anak-anak perempuan membaca,menulis dan mengajarkan berbagai macam keterampilan dan kerajinan tangan.

Kartini telah menjadi menjadi pelopor emansipasi perempuan di Indonesia. Seiring dengan perkembangan zaman melalui gerakan emansipasi yang diperjuangkannya pada akhirnya perempuan Indonesia mampu mensejajarkan diri dengan kaum pria di berbagai bidang seperti dibidang sosial, ekonomi maupun di bidang politik.

Di era modern seperti sekarang situasi menuntut kaum perempuan turut  mengambil peran untuk kemajuan bangsa Indonesia, perempuan tidak lagi hanya tinggal dirumah untuk mengurus rumah tangga dan melayani suami tetapi perempuan sekarang juga diharapkan mampu dan banyak terlibat dimasyarakat untuk memajukan bangsa Indonesia baik di bidang pendidikan, kesehatan, sosial maupun  dalam bidang politik  bahkan beberapa diantaranya mampu menduduki posisi-posisi penting di bidang birokrasi ada yang jadi walikota bahkan pernah menjadi presiden RI.  DPR pun banyak duduk anggota legislatif perempuan baik di tingkat daerah, propinsi maupun di pusat. Ini tentu tidak salah selama ia tidak melupakan dan melalaikan tugas utamanya dirumah sebagai istri dan sebagai ibu untuk anak-anaknya. Di bidang ekonomi tidak sedikit perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga atau membantu suaminya mencari nafkah.

Sejak jaman Kartini hingga sekarang ada begitu banyak perempuan yang berhasil membuktikan perannya dalam membangun dan mengharumkan nama bangsa dan tentunya juga tidak melupakan jasa-jasa para pejuang perempuan dalam merebut  kemerdekan bangsa Indonesia seperti Cut Nyak dien, Cut Mutia dan yang lainnya sehingga dengan merdekanya kita dari penjajah kita bisa lebih leluasa lagi untuk membekali diri kita dengan berbagai keahlian, pengetahuan dan mengembangkan  wawasan kita. Namun kita juga tidak bisa menyangkal jika dewasa ini banyak juga perempuan khususnya generasi muda perempuan telah terpengaruh oleh arus  globalisasi banyak diantara mereka yang terlena  dan tidak mampu membentengi diri mereka dari pengaruh buruk globalisasi tersebut,tidak sedikit perempuan yang terjerat dalam kasus NARKOBA dalam, gaya hidup yang kebarat-baratan yang bertentangan dengan etika dan norma agama serta terjerumus dalam pergaulan bebas, sex komersial dan yang lebih memprihatinkan banyak diantara mereka yang masih dibawah umur.

Banyak dari mereka beralasan untuk mendapatkan hidup yang lebih layak , untuk membantu menghidupi keluarganya dan tanpa mereka sadari telah menjatuhkan derajat dan harga diri perempuan secara global akibatnya dapat membuat perempuan menjadi direndahkan. Mereka lupa bagaimana RA Kartini berjuang untuk mengangkat derajat dan harga dirinya. Mereka telah salah mempersepsikan makna dari pada emansipasi. Mereka telah menjadikan emansipasi sebagai alasan untuk mendapatkan kebebasan seluas-luasnya. Tentunya bukan emansipasi yang demikian yang dimaksudkan Kartini. Justru seharusnya kita sebagai perempuan harus memanfaatkan emansipasi yang sudah kita raih dengan sebaik-baiknya dengan mengerahkan seluruh potensi kita untuk berpartisipasi membangun dan mengharumkan bangsa kita bukan sebaliknya.

Melalui momentum hari Kartini kali ini mari kita bersama-sama  mencari solusi memecahkan permasalahan yang menimpa kaum perempuan bangsa dan bersama-sama berkontribusi untuk membangun bangsa kita menjadi lebih baik lagi. Mari tingkatkan peran kita sebagai perempuan yaitu sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anak kita, didik mereka dengan cinta dan limpahan kasih sayang ajarkan mereka untuk mengenal agamanya dan mengenal Tuhannya agar mereka tumbuh menjadi generasi yang kuat, cerdas, beretika sehingga kelak mereka tumbuh menjadi pribadi-pribadi tangguh, berguna bagi bangsa, negara serta agama. Itulah hakikat sebenarnya dari cita-cita dan perjuangan Kartini, beliau sadar bahwa kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh kualitas perempuannya dan suksesnya seorang suami ada  peran seorang istri yang hebat dan generasi yang tangguh dan cerdas hanya bisa terlahir dari rahim perempuan tangguh dan cerdas pula.

Hidup kaum perempuan Indonesia …! kalian adalah Kartini-Kartini baru yang ada diabad ini…! Teruslah menjadi pelopor, inspirator dan penggerak kebaikan…

SELAMAT HARI KARTINI 21 April 2016

Hj. Herawati A.Md. Keb Ketua Bidang Perempuan dan Ketahanan Keluarga DPDk PKS Wajo
Hj. Herawati A.Md. Keb
Ketua Bidang Perempuan dan Ketahanan Keluarga DPD PKS Wajo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *