PAREPARE, Penarakyat.com — Penyakit demam berdarah dengue (DBD) sudah menjadi kasus nasional.
Hampir semua daerah terserang DBD, termasuk di Sulsel. Di Sulsel, ada 10 daerah tertinggi kasus DBD. Bahkan sampai ada kematian.
Sesuai data Dinas Kesehatan Provinsi Sulsel per 31 Januari 2019, 10 daerah tertinggi kasus DBD adalah Pangkep, 216 kasus, 5 kematian, Bulukumba, 75 kasus, Takalar, 68 kasus.
Menyusul Gowa, 50 kasus, Maros, 45 kasus, 1 kematian, Wajo, 36 kasus, 1 kematian, dan Soppeng, 27 kasus, 2 kematian.
Sisanya, Bone, 24 kasus, Makassar, 21 kasus, 1 kematian, dan Enrekang 20 kasus. Kota Parepare tidak masuk dalam 10 besar tertinggi, bahkan terbilang rendah di Sulsel, yakni 13 kasus dan tidak ada kematian.
Pemkot Parepare sudah mengambil langkah cepat terkait kasus DBD. Di antaranya dengan memberikan pencerahan kepada masyarakat melalui sosialisasi di Radio Peduli dan TV Peduli.
Ditambah lagi sosialisasi pemberantasan sarang nyamuk melalui mobil Dinas Kominfo Parepare, yang keliling setiap hari.
Sementara langkah melakukan fogging adalah keputusan terakhir.
Hal ini diungkap Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Parepare, Sriyanti Ambar, Jumat, 1 Februari 2019.
“Jika ada kasus positif DBD, maka tidak langsung difogging melainkan sebelumnya dilakukan tahapan yang namanya penyelidikan epidemiologi apakah layak untuk dilakukan fogging atau tidak. Kenapa demikian, karena yang pertama, fogging hanya membunuh nyamuk dewasa saja,” papar Sriyanti.
Kedua lanjut Sriyanti, kandungan kimia dalam fogging dapat berdampak untuk kesehatan dan lingkungan.
Olehnya itu, kata dia, cara paling efektif untuk mengendalikan demam berdarah adalah dengan pemutusan mata rantai pengembangbiakannya.
Yakni pemberantasan sarang nyamuk (PSN) melalui 3 M plus (menutup penampungan air, menguras bak air dan mendaur ulang bahan plastik yang berpotensi menjadi sarang pembiakan nyamuk). Dan plusnya adalah abatesasi, menanam tanaman anti nyamuk seperti sereh lavender, memakai lotion, memelihara ikan pemakan jentik. “Hal ini sangat mudah dan murah,” ujar Sriyanti.
Jadi kata dia, strategi dalam pengendalian DBD adalah pemberdayaan masyarakat dengan gerakan 1 rumah 1 jumantik (pemantau jentik) dan kemitraan multisektoral.
Anggota Tim Pembina Kota Sehat Parepare, Nirmalasari Haya menekankan, tidak serta merta Parepare dianggap tidak sehat jika ada kasus DBD, karena semua daerah juga mengalami hal serupa.
“DBD itu kasus yang harus ditangani. Sama dengan kasus penyakit lainnya seperti Tb ataupun hepatitis,” kata Nirmalasari.
Sementara program Kota Sehat kata dia, meliputi banyak indikator, di Parepare sendiri ada 7 indikator
Antara lain, indikator sarana dan prasarana permukiman, pariwisata sehat, transportasi sehat, sosial sehat, sehat mandiri, ketahanan pangan dan gizi, serta industri dan perkantoran sehat
“Hanya saja khusus untuk DBD itu kategori penyakit lingkungan, pencegahannya memang harus diawali dengan penanganan lingkungan secara bersih dan menghilangkan jejak genangan sebagai sumber nyamuk;” terang Nirmalasari yang juga Kasubid Pemerintahan dan Aparatur Bappeda Parepare.
Perkembangan terakhir, dari 13 penderita DBD di Parepare, 12 sudah sembuh dan dipulangkan. Sisa satu yang saat ini dirawat di RS Fatima.
Hal ini dibenarkan Kabid Kesmas, Kesling dan P2 Dinas Kesehatan Parepare, Kasmawati, SKM, M.Kes.
“Jadi ada 13 penderita, tapi 12 orang sudah pulang. Itupun kasusnya tidak bersamaan,” ungkap Kasmawati.
Ke-13 penderita itu antara lain dirawat di RSU Andi Makkasau, RS Sumantri, dan RS Fatima. (Andi Udin)