Pemerintah Kaji Dukungan Fiskal Bagi Industri Hulu Migas

Denpasar – 30 November 2021- Kementerian Keuangan dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sedang berkoordinasi untuk memperbaiki fiscal term hulu minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia, sehingga dapat menghasilkan reformasi peraturan kontrak hulu migas yang dapat mendorong peningkatan produksi. Hal ini dilakukan, agar industri hulu migas sukses memainkan perannya pada saat Indonesia memasuki masa transisi energi, dengan tetap berkomitmen terhadap penurunan emisi karbon.

“Detail kebijakan, masih kami diskusikan,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani saat menjadi pembicara pada hari kedua The 2nd International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas 2021 (IOG 2021), Selasa (30/11).

IOG 2021 merupakan konvensi internasional yang diselenggarakan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dalam rangka mendukung pencapaian visi bersama, yaitu target produksi minyak 1 juta barel per hari (BOPD) dan produksi gas 12 miliar kaki kubik per hari (BSCFD) di tahun 2030. Topik transisi energi menjadi salah satu materi diskusi yang menarik perhatian peserta konvensi.
Sri Mulyani mengatakan, Indonesia menargetkan pertumbuhan ekonomi 3,5 sampai 4 persen pada tahun 2021 dan 2022. Hal ini diharapkan dapat tercapai melalui kontribusi dari peningkatan produksi industri hulu migas karena mengingat mayoritas industri di Indonesia masih berbasis migas.

Untuk mendorong meningkatkan produksi migas, perlu usaha-usaha bersama dari semua pihak. Boosting investment dalam industri migas membutuhkan support berupa perbaikan fiskal dan insentif. Selain perbaikan fiscal term, beberapa hal yang harus dilakukan adalah kepastian kontrak, efisiensi dan teknologi, serta good governance dan transparansi.

Desain industri hulu migas ini harus sejalan dengan road map Indonesia menuju net zero emission di tahun 2060. Sinkronisasi tersebut terutama terkait bagaimana Indonesia akan meningkatkan renewable energy, bagaimana Indonesia akan menggunakan bahan bakar fossil dan bagaimana mengutilisasinya untuk mengurangi emisi karbon.

“Oleh karena itu Kemenekeu, Kementerian ESDM, SKK Migas serta kalangan industri harus bekerja sama untuk menyusun kebijakan yang sesuai, untuk terus mengembangkan ketahanan energi yang mendukung perbaikan ekonomi,” katanya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang juga hadir pada acara tersebut mengatakan, pemerintah berkomitmen untuk melakukan transisi energi yang mengarah kepada peningkatan pemakaian energi terbarukan. Meskipun demikian, guna menjamin kecukupan pasokan energi dan mendukung kegiatan ekonomi, Indonesia tetap akan membutuhkan minyak dan gas bumi sebagai sumber energi dan bahan baku utama.
“Gas bumi sebagai sumber daya energi yang emisinya rendah tentunya mempunyai peran yang dapat ditingkatkan untuk menggantikan energi fosil lainnya,” ujar Menko Airlangga. Dalam kesempatan tersebut, Menko Airlangga memberikan apresiasi tinggi atas upaya SKK Migas yang telah membuat perencanaan untuk menekan emisi karbon yang dihasilkan oleh kegiatan-kegiatan di hulu migas.
Penghargaan juga diberikan, karena industri hulu migas memiliki peran penting untuk menciptakan dan meningkatkan efek berganda bagi industri hilir, seperti pupuk dan petrokimia. Sejak tahun 2020, Kementerian ESDM memberikan dukungan untuk harga gas pada industri tertentu agar kompetitif, sehingga banyak sektor hilir yang saat ini mampu bersaing dan mengekspor produknya.
Kebijakan tersebut perlu diapresiasi. Diharapkan agar industri hilir dari kegiatan hulu migas dapat berkembang, sehingga tidak hanya berkontribusi kepada pendapatan negara, tetapi juga memberikan efek penciptaan lapangan pekerjaan dan mendorong ekonomi makro,” katanya.
Atas alasan ini, dibutuhkan roadmap agar upaya peningkatan produksi yang diusahakan sebesar 1 juta BOPD dan 12 BSCFD di tahun 2030 bisa dicapai. Indonesia berkomitmen agar industri hulu migas dalam jangka panjang bisa meningkat lifting minyak dan gas bumi. Pemerintah memberikan ruang untuk peningkatan investasi dengan berbagai insentif di sektor hulu migas. “Termasuk penyederhanaan perizinan dan hal lain yang bisa didorong melalui SKK Migas,” katanya.
Berdasarkan data SKK Migas, pada tahun 2020, berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Audited, sektor hulu migas telah menyumbang Penerimaan Negara sebesar Rp 103,5 triliun. Rinciannya, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Migas dan PNBP Lainnya sebesar Rp 70,5 triliun, serta pajak penghasilan (PPh) Migas sebesar Rp 33 triliun.
Pada tahun 2021, berdasarkan perhitungan outlook bagi hasil kontrak kerja sama (Production Sharing Contract/PSC), diperkirakan sektor hulu migas akan kembali memberikan kontribusi yang besar bagi Pendapatan Negara. Sampai dengan 31 Oktober 2021, Penerimaan Negara telah mencapai US$10,93 miliar atau sekitar 150 persen dari target APBN 2021. Hingga akhir tahun, diperkirakan Penerimaan Negara diproyeksikan mencapai sebesar US$12,36 miliar atau mencapai 170% dari target APBN 2021.Capaian tersebut belum memperhitungkan komponen kewajiban kontraktual Pemerintah kepada Kontraktor KKS terkait.

Pemerintah menyatakan komitmen untuk memberikan dukungan fiskal yang lebih baik guna mendukung sektor industri hulu minyak dan gas bumi (migas). Kementerian Keuangan dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah mendiskusikan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk merancang perbaikan fiscal term yang diperlukan dalam rangka menciptakan reformasi kebijakan yang menyeluruh terkait dengan kontrak cost recovery, gross split, dan perpajakan secara umum.

“Detail kebijakan, masih kami diskusikan,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani saat menjadi pembicara pada hari kedua The 2nd International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas 2021 (IOG 2021), Selasa (30/11).

Dia menjelaskan, dukungan ini diberikan di tengah strategisnya industri hulu migas sebagai penyedia energi transisi dalam masa peralihan dari energi fosil ke energi terbarukan. Meskipun mendukung industri hulu migas melalui perbaikan insentif dan perbaikan fiscal term, menurut Menkeu Sri Mulyani, bukan hanya hal ini yang diperlukan oleh industri hulu migas. “Terdapat juga faktor-faktor kritis lainnya, yaitu kepastian kontrak, efisiensi dan teknologi, serta good governance dan transparansi,” ujar Menkeu. Ditambahkannya, faktor-faktor kritis tersebut harus dikelola dengan baik juga baik oleh industri hulu migas maupun stakeholders terkait. (rls)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *