MAKASSAR, Penarakyatmcom – Program Jaminan Gagal Panen yang diusung pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Uchu-Liwang nomor urut 2 menarik perhatian publik. Program ini menawarkan perlindungan kepada petani melalui skema asuransi, namun juga memunculkan berbagai pertanyaan terkait implementasi dan dampaknya.
Pengamat ekonomi dan dosen Universitas Bosowa, Dr. Abdul Karim, SE., MM., menilai program ini tampak ideal di atas kertas, tetapi menghadapi tantangan besar di lapangan. Salah satu tantangan utama adalah risiko tinggi dalam sektor pertanian.
“Bencana alam, cuaca ekstrem, dan wabah hama merupakan ancaman yang sulit diprediksi. Risiko ini membuat perusahaan asuransi cenderung enggan menanggung kerugian besar akibat gagal panen massal,” ujar Abdul Karim kepada Maspulfakta.com, Senin (18/11/2024).
Ia juga menyoroti potensi penyalahgunaan klaim. Tanpa mekanisme verifikasi yang ketat, klaim palsu bisa menjadi masalah serius, yang pada akhirnya merusak keberlanjutan program.
“Menentukan penyebab gagal panen, apakah karena faktor alam atau kelalaian petani, membutuhkan sistem validasi yang akurat. Tanpa itu, risiko klaim palsu meningkat,” jelasnya.
Tantangan Premi dan Keterjangkauan
Selain itu, Abdul Karim menyebutkan bahwa premi asuransi yang tinggi menjadi penghalang bagi banyak petani. “Mayoritas petani memiliki kemampuan finansial yang terbatas. Jika premi tidak sesuai dengan tingkat risiko, perusahaan asuransi tidak akan tertarik, sementara petani tidak mampu membayar,” tambahnya.
Ia juga mengingatkan bahwa keberhasilan program ini sering bergantung pada dukungan pemerintah yang tidak selalu konsisten. “Perubahan kebijakan atau anggaran dapat memengaruhi keberlanjutan program ini, terutama jika terjadi krisis politik atau ekonomi,” ujarnya.
Kompleksitas Logistik dan Teknologi
Abdul Karim menyoroti pentingnya teknologi dalam mendukung program ini, termasuk pemanfaatan data berbasis blockchain, citra satelit, dan teknologi pemantauan cuaca. “Teknologi pertanian perlu dibangun sebagai instrumen utama untuk validasi dan verifikasi klaim, sehingga risiko dapat dinilai dengan lebih baik oleh perusahaan asuransi,” katanya.
Ia juga menyoroti kompleksitas logistik dalam mengelola ribuan peserta asuransi, mulai dari verifikasi klaim hingga pencairan pembayaran. Menurutnya, tanpa infrastruktur operasional yang kuat, program ini akan sulit dijalankan.
Skema Kerjasama yang Belum Jelas
Dalam hal kerjasama dengan perusahaan asuransi, Abdul Karim mempertanyakan kesiapan pemerintah daerah. “Apakah ada skema yang jelas di dalam MoU terkait pembagian tanggung jawab jika terjadi gagal panen massal? Misalnya, bagaimana risiko dibagi antara pemerintah dan pihak asuransi?” tanyanya.
Ia menyarankan skema di mana pemerintah daerah bertindak sebagai reinsurer untuk menanggung sebagian besar risiko. Namun, ia mengingatkan bahwa skema ini akan membebani APBD secara signifikan. “Jika APBD harus dialihkan untuk menanggung risiko ini, belanja untuk infrastruktur, modal, dan kebutuhan lainnya akan terpangkas,” jelasnya.
Kesimpulan
Abdul Karim mengingatkan bahwa Program Jaminan Gagal Panen memiliki potensi besar, tetapi jika tidak dirancang dengan matang, ia berisiko menjadi beban, baik bagi pemerintah maupun perusahaan asuransi.
“Kebijakan seperti ini harus mempertimbangkan realitas di lapangan. Program yang terlalu idealis tanpa perencanaan dan eksekusi yang tepat akan sulit direalisasikan,” tutupnya.
Program ini masih menjadi perbincangan hangat, dengan banyak pihak yang menunggu kejelasan lebih lanjut terkait mekanisme dan implementasinya.
“Program ini mungkin lebih tepat disebut mimpi daripada solusi,” pungkasnya. (Biway)