– Kisah Yohanes Litha, Jumpa Ibunya Selamat dan Rumah Utuh dari Reruntuhan
PALU, Penarakyat.com — Itulah yang dialami reporter VOA Indonesia, Yoanes Litha, saat gempa mengguncang Sulawesi Tengah, Jumat (28/09/2018) pekan lalu.
Betapa tidak kala itu dia berada di Poso, yang jaraknya sekitar 210 km di Tenggara Palu.
“Selama saya tinggal di Palu dan Poso, baru ini gempa yang sekuat ini. Gempa ini luar biasa. Para ibu dan perempuan banyak yang berteriak, pada menangis,” berkisa Yoanes, seraya mengatakan seorang ibu menangis karena tidak bisa melihat jasad putrinya yang telah dikubur massal.
Tapi, Yoanes Litha, meyakini bila gempa yang mengguncang di petang hari tersebut, berbeda dari gempa-gempa sebelumnya yang pernah menghantam Sulawesi Tengah.
Selain karena guncangan yang keras, “listrik tiba-tiba padam, saya cari HP, mau tahu di mana sumber gempa ini, tetapi tidak bisa. Tidak ada sinyal.”
Pikirannya pun langsung terbang ke Palu, tempat Yoanes lahir dan dibesarkan. Kedua orang tuanya ada di sana.
“Saya bingung, khawatir. Mau menghubungi siapa, tetapi tak bisa,”kenangnya.
Setelah memastikan keluarganya di Poso aman, naluri kewartawanan ya tetap semangat dan dibuktikan mengumpulkan berbagai bahan berita terkait bencana gempa di sana, keesokan paginya, Sabtu (29/09/2018), Yoanes, langsung menuju Palu dengan sepeda motornya.
MEMASTIKAN KABAR ORANG TUA
Suasana hati Yoanes semakin tidak tenang ketika dia mulai memasuki kota Palu. Pasalnya di jalan menuju kota Palu, terbentang dua buah perahu membentang di pinggir jalan. Warga sibuk mencari barang di antara puing-puing rumah mereka.
Yoanes bahkan menceritakan bahwa menurut warga, “air yang masuk ketinggiannya sampai sekitar enam meter.”
Saat itu dia sudah mengetahui gempa berpusat di dekat Donggala dan Palu, serta telah terjadi tsunami. Meskipun jaringan telpon rusak, internet tetap berfungsi.
Semakin dekat ke Palu, dia melihat pemandangan yang tidak pernah dilihatnya sebelumnya, jalanan macet karena ada antrean panjang. “Di Palu jarang macet.”
“Orang-orang mengantre di berbagai gudang dan kios, mengambil barang-barang yang ada di dalamnya. Banyak juga yang mengantre BBM, panjang sekali, antre lima jam untuk dapat lima liter.”
Pikiran Yoanes semakin berpusat ke kondisi orang tuanya. Sepeda motor diarahkan ke Jalan Banteng, sekitar lima kilometer dari pinggir laut Palu.
Yoanes Litha, hanya berkata ” Hati saya kayak gimana gitu, nggak bisa berkata-kata. Saya berharap mudah-mudahan orang tua nggak apa-apa, mudah-mudahan rumah masih utuh.”
Dan dia mengaku perasaannya sebelum masuk Jalan Banteng (di pengkolan) mendekati rumah orang tuanya perasaannya diakui tidak tenang.
Tapi menyaksikan masih banyak bangunan yang masih utuh. Dan ketika saya belok, dan Apalagi begitu melihat rumah masih berdiri tegak, aduh rasanya lega sekali.
“Apalagi ketika masuk rumah , orang tua baik-baik saja, masih sehat-sehat.”
Suasana tanggal 4 Oktober, paska tsunami di Sulawesi Tengah.
Yoanes bertutur orang tuanya bahkan bertanya-tanya mengapa sang anak tiba-tiba datang ke Palu.
“Gimana nggak datang, nggak ada kabar,” kata Yoanes menirukan apa yang disampaikan kepada orang tuanya saat itu.
“Setelah yakin semua (keluarga) baik-baik, saya kembali bertugas dan memberitakan apa yang terjadi di sini.”
TIDAK SEGAMPANG DAERAH LAIN
Ketika diwawancara pada Rabu (03/10/2018), Yoanes, yang sudah lima hari meliput berita gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah, mengakui bahwa mengabarkan berita bencana gempa dan tsunami di kampung halaman sendiri adalah hal yang tidak gampang.
“Gimana ya, kadang saya ikut terbawa suasana. Beberapa kali saya tersadar bahwa saya sebenarnya ikut terdampak, jadi korban, meskipun secara tidak langsung.”
Yoanes juga melihat bagaimana Palu berubah, tidak hanya fisik karena diporak-porandakan bencana, tetapi juga secara emosional.
“Terasa sekali suasana kepanikan, melihat orang yang tidak berdaya, wajah memelas, menangis.”
Hal yang membekas bagi Yoanes sepanjang peliputan adalah ketika dia mendatangi Bandara Mutiara SIS Al-Jufrie, yang telah berubah menjadi tempat. (*)