PINRANG, Penarakyat.com — Praktik pemerasan berkedok profesi kembali mencoreng citra dunia jurnalistik. Kali ini, sejumlah Kepala Sekolah (Kepsek) di Kabupaten Pinrang diduga menjadi korban pemerasan oleh seseorang yang mengaku sebagai wartawan dari sebuah media bernama Lentera.
Modusnya: pelaku menghubungi para kepala sekolah melalui aplikasi WhatsApp, mengaku sebagai jurnalis aktif, dan secara langsung meminta uang senilai ratusan ribu rupiah agar “urusan” mereka tidak dipublikasikan atau diganggu. Salah satu potongan percakapan yang beredar menunjukkan permintaan uang sebesar Rp400 ribu agar ditransfer ke aplikasi DANA milik pelaku.
“Benar pak, bukan hanya saya yang dihubungi. Banyak rekan-rekan kepala sekolah lain sudah jadi korban. Ada yang sudah sempat mentransfer karena merasa terintimidasi,” ungkap salah satu kepala sekolah yang enggan disebutkan namanya, saat dikonfirmasi, Rabu (04/06/2025).
Menurut sumber yang sama, jumlah uang yang diminta pun bervariasi. Bahkan, ada yang mengaku diminta hingga Rp800 ribu. Semua dilakukan lewat pendekatan yang mencurigakan, bermuatan ancaman halus, dan menyasar langsung ke perangkat ponsel pribadi para kepala sekolah.
Pers atau Pemerasan?
Praktik semacam ini mencederai semangat kemerdekaan pers yang seharusnya berdiri di atas prinsip kontrol sosial, edukatif, dan etika profesi. Pelaku, yang mengaku bernama Agus, jelas menyalahgunakan identitas jurnalistik untuk kepentingan pribadi.
Jasmir L Laintang, seorang penggiat media dan pemerhati etika jurnalistik, angkat bicara. Ia mengimbau agar para kepala sekolah tidak melayani permintaan dari oknum-oknum wartawan yang menyimpang, apalagi jika disertai ancaman.
“Jika ada yang meminta sesuatu dan mengatasnamakan media apalagi wartawan, terlebih dengan ancaman, itu sudah masuk unsur pidana. Kepsek tidak boleh takut, silakan laporkan ke pihak kepolisian,” tegas Jasmir.
Ia menambahkan, wartawan tidak memiliki kewenangan untuk meminta atau memaksa pihak mana pun memberikan imbalan dalam bentuk apa pun. Permintaan tersebut bukan hanya melanggar Kode Etik Jurnalistik, tetapi juga bisa dikategorikan sebagai pemerasan dan pencemaran nama baik profesi wartawan.
Mendesak Tindakan Tegas dan Pencegahan Sistemik
Maraknya modus semacam ini mencerminkan lemahnya literasi hukum dan etika di kalangan birokrasi pendidikan sekaligus buruknya sistem verifikasi terhadap media dan wartawan gadungan.
Kasus ini perlu menjadi momentum bagi aparat penegak hukum untuk menindak tegas pelaku-pelaku penyimpangan yang berlindung di balik profesi mulia. Selain itu, institusi pendidikan di daerah juga perlu dibekali pelatihan dasar tentang cara menghadapi tekanan dari pihak eksternal, termasuk dari media, agar tidak mudah panik dan menjadi korban.
Di sisi lain, Dewan Pers bersama organisasi wartawan seperti PWI dan AJI juga diharapkan ikut aktif menyuarakan dan meluruskan kasus ini. Profesi wartawan harus dilindungi dari infiltrasi pihak tak bertanggung jawab yang merusak kredibilitas dan tujuan jurnalistik sejati.
Jika Anda mengetahui kasus serupa atau menjadi korban, jangan ragu untuk melapor ke aparat berwajib atau menghubungi lembaga pengaduan media resmi. Jangan biarkan profesi wartawan diseret ke ruang gelap pemerasan. Wartawan sejati tidak pernah meminta, apalagi mengancam. (*)
Tinggalkan Balasan