Oleh: Murni Parembai, SS. M.Ag

Setiap tanggal 21 Mei, bangsa ini mengenang Reformasi 1998 — sebuah tonggak sejarah yang tidak lahir di ruang kekuasaan, tetapi dari bara semangat mahasiswa di kampus-kampus.

Di tengah represi dan krisis multidimensi, suara mahasiswa menjadi nyala api perubahan yang menumbangkan rezim otoriter.

Namun hari ini, lebih dari dua dekade kemudian, kita dipaksa bertanya: ke mana perginya semangat itu?

Reformasi: Kembali ke Akar, Menata Ulang Masa Depan

Secara etimologis, “reformasi” bermakna membentuk ulang. Namun dalam konteks Indonesia, reformasi adalah panggilan moral dan intelektual untuk kembali ke akar nilai: keadilan, demokrasi, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Kampus, sebagai ruang akademik sekaligus laboratorium sosial, seharusnya menjadi episentrum dari nilai-nilai ini.

Namun kini, suasana kampus seakan kehilangan denyutnya. Dari ruang kelas hingga lapangan terbuka, atmosfer intelektual kian menipis. Perpustakaan menjadi ruang sunyi, forum-forum diskusi berganti menjadi grup WhatsApp pasif, dan organisasi mahasiswa lebih sibuk mengurus agenda seremonial ketimbang membangun narasi kritis.

Krisis Infrastruktur dan Budaya Akademik

Keterbatasan sarana fisik kampus bukan sekadar soal fasilitas; ia adalah cerminan abai terhadap pentingnya ruang hidup akademik. Perpustakaan yang tidak terawat, ruang diskusi yang tidak tersedia, hingga minimnya ruang ekspresi membuat kampus kehilangan daya hidupnya. Mahasiswa datang untuk kuliah, bukan untuk tumbuh. Perguruan tinggi pun makin menyerupai pabrik gelar, bukan taman gagasan.

Kondisi ini diperparah oleh budaya digital yang mendewakan kecepatan dan efisiensi. Akses ke kecerdasan buatan seperti ChatGPT memang membuka jendela pengetahuan, namun tanpa bimbingan metodologis, ia berpotensi mematikan keingintahuan dan menggeser makna belajar. Mahasiswa menjadi konsumen jawaban, bukan pencari makna. Inilah krisis epistemik kita hari ini.

Kampus sebagai Ruang Hidup, Bukan Sekadar Institusi

Mahasiswa adalah agent of change bukan karena gelarnya, tapi karena daya kritis dan integritasnya. Namun jika kampus gagal menjadi lahan subur bagi pembentukan karakter dan pemikiran, maka output akademik hanya menjadi formalitas administratif belaka. Gelar akademik tanpa nilai hanya akan mencetak teknokrat kosong, bukan pemimpin masa depan.

Perlu ada revolusi senyap dalam dunia akademik: membangun kembali ekosistem kampus yang menghidupkan kembali semangat belajar, berdiskusi, dan berjuang. Kampus harus menjadi rumah bagi gagasan-gagasan liar, ruang aman bagi pertanyaan-pertanyaan tak populer, dan medan latihan bagi keberanian intelektual.

Menggaungkan Reformasi dari Ruang Akademik

Reformasi tidak boleh berhenti sebagai artefak sejarah. Ia adalah proyek yang harus terus dirawat, dipertanyakan, dan diperjuangkan — termasuk di dalam dunia akademik. Kampus harus kembali menjadi ruang pembebasan, bukan penghambat pertumbuhan. Mahasiswa harus kembali memeluk peran historisnya: menjadi penjaga nurani bangsa dan penggerak perubahan sosial.

Kini saatnya membangun kembali kampus sebagai ruang hidup: dengan fasilitas yang layak, budaya akademik yang sehat, dan sistem yang mendukung pertumbuhan holistik. Kampus yang menyediakan ruang baca yang menggugah, ruang olahraga yang menyegarkan, dan ruang diskusi yang merangsang daya pikir.

Penutup: Kampus Sebagai Pilar Bangsa

Kita tidak bisa menunggu perubahan datang dari atas. Seperti Reformasi 1998, perubahan sejati lahir dari kesadaran kolektif yang tumbuh dari bawah. Dan kampus adalah tanah awal yang paling strategis. Maka mari kita rebut kembali ruh kampus, bukan dengan nostalgia, tetapi dengan aksi nyata: membangun ulang kesadaran, infrastruktur, dan budaya akademik kita.

Karena bangsa yang besar bukan hanya yang mengenang sejarah perjuangan, tetapi yang mampu merawat dan meneruskan semangatnya — di jalanan maupun di ruang kelas. (*)