image

Oleh : SUBARMAN SALIM‎

Sebagai partai warisan, Golkar sebenarnya larut dalam lena. Mereka tidak melakukan perubahan yang seharusnya dilakukan pasca reformasi. Mereka lebih memilih titik aman mempertahankan kekuasaan daripada membuat terobosan terbaru dalam meraih simpati rakyat.

Karena tipikal warisan itulah, perlahan-lahan Golkar makin kering dan tergerus oleh tangan-tangan yang ingin ambil bagian. Bagi mereka asal sudah dapat jatah, berarti misi selesai, untuk sirkulasi kader itu urusan lain. 

Buktinya, sejak era pemilihan langsung, jumlah wakilnya justru mengalami tren menurun. Target suara setiap pemilu tak bisa dicapai. 

Mereka lemah dalam inovasi. Sementara partai lain, terus berkreasi melakukan pembenahan internal, misalnya dengan membentuk satuan organisasi muda yang punya pemikiran segar dan mobilitas tinggi. 

Sementara, di tubuh Golkar, nyaris hanya mengandalkan AMPG yang strukturnya kurang segar dan programnya tidak terdengar, senyap.

Kesalahan kedua adalah inkonsistensi visi. Golkar merumuskan visi suara rakyat suara Tuhan. Golkar sepertinya ingin kembali merebut hati rakyat, berpikir bahwa apapun kepentingan rakyat harus didengar dan diperjuangkan.

Kenyataannya, slogan suara rakyat suara Tuhan sebenarnya hanya tong kosong. Karena, yang terjadi Golkar terkesan hanya mendengar suara-suara elit. Di akar rumput, suara rakyat masih tertahan oleh peliknya birokrasi. Kondisi yang seharusnya tidak terjadi jika Golkar mampu menjadi refresentasi rakyat.

Kalau memang suara rakyat, kemana mereka saat terjadi penggusuran? Bagaimana peran mereka saat kisruh PKL? Dimana mereka saat relokasi pedagang di pelalangan Bajoe?

Yang terakhir dan sepertinya inipun juga dialami oleh partai politik lain, adalah belum bisa move on dari pola lama. Mereka hanya hadir saat kampanye dan memobilisasi massa untuk menggunakan baju berwarna partai dan meneriakkan yel-yel, demi menyakinkan hati Setia Novanto. 

Saat di lapangan dimana mereka terlihat besar, namun sesungguhnya sedang dalam kondisi kropos. Karena mereka yang ikut ke lapangan tak bisa disimpulkan sebagai suara rakyat. Rakyat yang petani, nelayan, disabilitas, buruh, di pelosok dan kelompok marginal tak punya waktu untuk berteriak di lapangan.

Mungkin Golkar pun keliru mendengar suara rakyat. Mereka hanya mendengar gema dari suara mereka sendiri yang terpantul dari ruang-ruang eksklusif.

Suara rakyat itu ada dalam diamnya mereka yang teraniaya, bungkamnya mereka yang lemah dalam mengakses sumber informasi. Mereka yang di pasar, sawah, tepi laut, perbatasan, gubuk reot. Saya ragu dengan yang sering di warkop, entahlah. (***)‎